Problematika Pendidikan Multikultur di Indonesia

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Indonesia merupakan negara multikultural, keragaman itu tercermin pada berbagai macam bahasa, budaya serta agama dan kepercayaan, seperti Islam, Kristen Protestan, Katolik, Hindu, Budha, Kong Hu Chu serta berbagai aliran kepercayaan. Keragaman merupakan kekuatan tersembunyi, akan tetapi keragaman juga kadang menjadi penyebab timbulnya persoalan yang dihadapi bangsa ini sekarang. Terdapat relasi resiprokal antara dunia pendidikan dengan kondisi sosial masyarakat. Relasi ini bermakna bahwa apa yang berlangsung dalam dunia pendidikan adalah gambaran dari kondisi yang sesungguhnya dalam kehidupan masyarakat yang kompleks.
Pendidikan multikultural merupakan salah satu alternatif pendidikan di era globalisasi. Pendidikan sebagai ruang tranformasi budaya hendaknya selalu mengedepankan wawasan multikultural untuk memperbaiki kekurangan dan kegagalan, serta memebongkar praktik-praktik diskriminatif dalam proses pendidikan. 
Pendidikan menjadi wajib hukumnya untuk memikirkan upaya pemecahan dalam menyikapi problem pendidikan yang ada. Sudah sepatutnya pendidikan memiliki peran dalam menyelesaikan konflik yang terjadi di masyarakat. Minimal pendidikan harus mampu memberikan penyadaran kepada masyarakat bahwa konflik bukan suatu hal yang baik untuk dibudayakan. Dan selayaknya pula pendidikan mampu memberikan tawaran-tawaran yang mencerdaskan, antara lain dengan cara mendesain materi, metode hingga kurikulum yang mampu menyadarkan masyarakat akan pentingya sikap saling toleran, menghormati perbedaan suku, agama, ras etnis dan budaya masyarakat Indonesia yang multikultural. Sudah selayaknya pendidikan berperan sebagai media transformasi sosial budaya dan multikulturalisme 
Sejak lama, seluruh bangsa Indonesia selalu diingatkan agar selalu hidup berdampingan secara damai dalam masyarakat yang beraneka suku bangsa, agama, ras dan antar golongan. Kita diseru untuk mengerti, menghayati, dan melaksanakan kehidupan bersama demi terciptanya persatuan dan kesatuan dalam perbedaan sebagaimana semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Artinya kita selalu diingatkan untuk menghargai dan menghayati perbedaan SARA sebagai unsur utama yang mempersatukan bangsa ini dan bukan dijadikan alasan terjadinya konflik. Dalam   studi sosial, ajakan agar selalu hidup berdampingan secara damai ini merupakan bentuk sosialisasi nilai yang terkandung dalam multikulturalisme. 
Kesadaran akan pentingnya kemajemukan mulai muncul seiring gagalnya upaya nasionalisme negara, yang dikritik karena dianggap terlalu menekankan kesatuan daripada keragaman. Kemajemukan dalam banyak hal suku, agama, ras, golongan yang seharusnya menjadi hasanah dan modal untuk membangun seringkali dimanipulasi oleh penguasa untuk mencapai kepentingan politiknya. Maka ketika kemudian konflik bergejolak di daerah, negara seakan-akan menutupi realitas kemajemukan itu atas nama “kesatuan bangsa” atau “stabilitas nasional”. Konflik sosial yang sering muncul sebagaia akibat pengingkaran terhadap kenyataan kemajemukan dan penyebab adanya konflik sosial.
Konflik atas nama agama yang terjadi bukan hanya melibatkan agama yang berbeda, bahkan antar agama pun mampu menimbulkan konflik, semisal konflik antar umat Islam yang megatasnamakan sunni-syiah di Sampang pada 2012 lalu yang mengakibatkan pengikut Syiah harus dievakuasi, serta konflik Puger Jember yang berakibat pegrusakan fasilitas warga syiah pada tahun 2013.
Sebenarnya, keberagaman dalam suatu komunitas bisa memberikan energi positif apabila digunakan sebagai modal untuk bisa bersama membangun bangsa dalam hubungan yang saling memberi dan menerima, dan sebaliknya apabila keberagaman masih dibingkai oleh penafsiran yang bersumber pada sebuah simbol yang mengikat atau menekan dimana sarat akan prasangka, kecurigaan, bias dan reduksi terhadap kelompok di luar dirinya, maka ia hanya akan menjadi bom penghancur struktur dan pilar kebangsaan.
Masyarakat dan kebudayaan apapun dan di manapun selalu didasari dan ditandai oleh adanya kebersamaan, keterikatan bersama, kesepakatan bersama. Masyarakat   dan   kebudayaan   sesungguhnya   saling   memprakondisikan   dan membutuhkan. Tanpa kebudayaan niscaya masyarakat tidak akan ada, atau setidaknya tidak mampu bertahan lama. Tanpa masyarakat, niscaya kebudayaan tidak mungkin ada, atau setidaknya segera punah. Hal ini mengimplikasikan bahwa masyarakat dan kebudayaan saling asa bersama, saling berhubungan secara bermutu (bersimbiose mutualisme), saling bergantung. Khusunya dalam masyarakat yang beragam, harus saling menghargai dan juga mengakui eksistensi kebudayaan lainnya.
Bertolak dari kenyataan itu, kini dirasakan semakin perlunya kebijakan multikultural yang memihak keragaman. Dari kebijakan itu nantinya diharapkan masyarakat dapat mengelola perbedaan yang ada secara positif. Dengan demikian, perbedaan dalam beragam area kehidupan tidak memicu prasangka atau konflik, tetapi sebaliknya mendorong dinamika masyarakat ke arah lebih baik.

1.2 Tujuan Penulisan
1) Guna mengetahui latar belakang terjadinya problematika pendidikan multikultur di Indonesia.
2) Guna mengetahui problematika pendidikan multikultur.
3) Guna mengetahui problema penyakit budaya.
4) Guna mengetahui cara mencegah terjadinya problematika pendidikan multikultur di Indonesia.
5) Guna mengetahui solusi dan problematika pendidikan multikultur di Indonesia.


BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Problematika Pendidikan Multikultur
Problema kemasyarakatan pendidikan multikultural di Indonesia akan dipecahkan dengan pendidikan multikultural dan problem yang berkaitan dengan pembelajaran berbasis budaya. Problem ini dijadikan bahan pengembangkan pendidikan multikultural di Indonesia ini. Beberapa peristiwa budaya yang negatif dan sering muncul di tanah air seperti peristiwa di Poso, Ambon, Papua, Sampit, Aceh, Bali, Jakarta, dan lain-lain ini disebabkan oleh problema kemasyarakatan sebagai berikut:
1) Keragaman Identitas Budaya Daerah
Keragaman ini menjadi modal sekaligus potensi konflik. Keragaman budaya daerah memang memperkaya khasanah budaya dan menjadi modal yang berharga untuk membangun Indonesia yang multikultural. Namun kondisi beraneka budaya itu sangat berpotensi memecah belah dan menjadi lahan subur bagi konflik dan kecemburuan sosial. Masalah itu muncul jika tidak ada komunikasi antar budaya daerah. Tidak adanya komunikasi dan pemahaman pada berbagai kelompok budaya lain ini justru dapat menjadi konflik. Sebab dari konflik- konflik yang terjadi selama ini di Indonesia dilatarbelakangi oleh adanya keragaman identitas etnis, agama dan ras. Misalnya peristiwa Sampit. Mengapa? Keragaman ini dapat digunakan oleh provokator untuk dijadikan isu yang memancing persoalan.
Dalam mengantisipasi hal itu, keragaman yang ada harus diakui sebagai sesuatu yang mesti ada dan dibiarkan tumbuh sewajarnya. Selanjutnya, diperlukan suatu manajemen konflik agar potensi konflik dapat terkoreksi secara dini untuk ditempuh langkah-langkah pemecahannya, termasuk di dalamnya melalui Pendidikan Multikultural. Dengan adanya Pendidikan Multikultural itu diharapkan masing-masing warga daerah tertentu bisa mengenal, memahami, menghayati dan bisa saling berkomunikasi.

2) Pergeseran Kekuasaan dari Pusat ke Daerah
Sejak dilanda arus reformasi dan demokratisasi, Indonesia dihadapkan pada beragam tantangan baru yang sangat kompleks. Satu di antaranya yang paling menonjol adalah persoalan budaya. Dalam arena budaya, terjadinya pergeseran kekuasaan dari pusat ke daerah membawa dampak besar terhadap pengakuan budaya lokal dan keragamannya. Bila pada masa Orba, kebijakan yang terkait dengan kebudayaan masih tersentralisasi, maka kini tidak lagi. 
Kebudayaan, sebagai sebuah kekayaan bangsa, tidak dapat lagi diatur oleh kebijakan pusat, melainkan dikembangkan dalam konteks budaya lokal masing- masing. Ketika sesuatu bersentuhan dengan kekuasaan maka berbagai hal dapat dimanfaatkan untuk merebut kekuasaan ataupun melanggengkan kekuasaan itu, termasuk di dalamnya isu kedaerahan.
Konsep “putra daerah” untuk menduduki pos-pos penting dalam pemerintahan sekalipun memang merupakan tuntutan yang demi pemerataan kemampuan namun tidak perlu diungkapkan menjadi sebuah ideologi. Tampilnya putra daerah dalam pos-pos penting memang diperlukan agar putra-putra daerah itu ikut memikirkan dan berpartisipasi aktif dalam membangun daerahnya. Harapannya tentu adalah adanya asas kesetaraan dan persamaan. Namun bila isu ini terus menerus dihembuskan justru akan membuat orang terkotak oleh isu kedaerahan yang sempit. Orang akan mudah tersulut oleh isu kedaerahan. Faktor pribadi (misalnya iri, keinginan memperoleh jabatan) dapat berubah menjadi isu publik yang destruktif ketika persoalan itu muncul di antara orang yang termasuk dalam putra daerah dan pendatang.
Konsep pembagian wilayah menjadi propinsi atau kabupaten baru selalu ditiup-tiupkan oleh kalangan tertentu agar mendapatkan simpati dari warga masyarakat. Mereka menggalang kekuatan dengan memanfaatkan isu kedaerahan ini. Warga menjadi mudah tersulut karena mereka berasal dari kelompok tertentu yang tertindas dan kurang beruntung.


3) Kurang Kokohnya Nasionalisme
Keragaman budaya ini membutuhkan adanya kekuatan yang menyatukan (integrating force) seluruh pluralitas negeri ini. Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa, kepribadian nasional dan ideologi negara merupakan harga mati yang tidak bisa ditawar lagi dan berfungsi sebagai integrating force. Saat ini Pancasila kurang mendapat perhatian dan kedudukan yang semestinya sejak isu kedaerahan semakin semarak. Persepsi sederhana dan keliru banyak dilakukan orang dengan menyamakan antara Pancasila itu dengan ideologi Orde Baru yang harus ditinggalkan. Pada masa Orde Baru kebijakan dirasakan terlalu tersentralisasi. Sehingga ketika Orde Baru tumbang, maka segala hal yang menjadi dasar dari Orde Baru dianggap jelek, perlu ditinggalkan dan diperbarui, termasuk di dalamnya Pancasila. 
Tidak semua hal yang ada pada Orde Baru jelek, sebagaimana halnya tidak semuanya baik. Ada hal-hal yang tetap perlu dikembangkan. Nasionalisme perlu ditegakkan namun dengan cara-cara yang edukatif, persuasif dan manusiawi bukan dengan pengerahan kekuatan. Sejarah telah menunjukkan peranan Pancasila yang kokoh untuk menyatukan kedaerahan ini. Kita sangat membutuhkan semangat nasionalisme yang kokoh untuk meredam dan menghilangkan isu yang dapat memecah persatuan dan kesatuan bangsa ini.

4) Fanatisme Sempit
Fanatisme dalam arti luas memang diperlukan. Namun yang salah adalah fanatisme sempit, yang menganggap menganggap bahwa kelompoknyalah yang paling benar, paling baik dan kelompok lain harus dimusuhi. Gejala fanatisme sempit yang banyak menimbulkan korban ini banyak terjadi di tanah air ini. Gejala Bonek (bondo nekat) di kalangan suporter sepak bola nampak menggejala di tanah air. Kecintaan pada klub sepak bola daerah memang baik, tetapi kecintaan yang berlebihan terhadap kelompoknya dan memusuhi kelompok lain secara membabi buta maka hal ini justru tidak sehat. Terjadi pelemparan terhadap pemain lawan dan pengrusakan mobil dan benda-benda yang ada di sekitar stadion ketika tim kesayangannya kalah menunjukkan gejala ini.
Kecintaan dan kebanggaan pada korps memang baik dan sangat diperlukan. Namun kecintaan dan kebanggaan itu bila ditunjukkan dengan bersikap memusuhi kelompok lain dan berperilaku menyerang kelompok lain maka fanatisme sempit ini menjadi hal yang destruktif. Terjadinya perseteruan dan perkelahian antara oknum aparat kepolisian dengan oknum aparat tentara nasional Indonesia yang kerap terjadi di tanah air ini juga merupakan contoh dari fanatisme sempit ini. Apalagi bila fanatisme ini berbaur dengan isu agama (misalnya di Ambon, Maluku dan Poso, Sulawesi Tengah), maka akan dapat menimbulkan gejala ke arah disintegrasi bangsa.

5) Konflik Kesatuan Nasional dan Multikultural
Ada tarik menarik antara kepentingan kesatuan nasional dengan gerakan multikultural. Di satu sisi ingin mempertahankan kesatuan bangsa dengan berorientasi pada stabilitas nasional. Namun dalam penerapannya, kita pernah mengalami konsep stabilitas nasional ini dimanipulasi untuk mencapai kepentingan-kepentingan politik tertentu. Adanya Gerakan Aceh Merdeka di Aceh dapat menjadi contoh ketika kebijakan penjagaan stabilitas nasional ini berubah menjadi tekanan dan pengerah kekuatan bersenjata. Hal ini justru menimbulkan perasaan anti pati terhadap kekuasaan pusat yang tentunya hal ini bisa menjadi ancaman bagi integrasi bangsa. Untunglah perbedaan pendapat ini dapat diselesaikan dengan damai dan beradab. Kini, semua pihak yang bertikai sudah bisa didamaikan dan diajak bersama-sama membangun daerah yang porak poranda akibat peperangan yang berkepanjangan dan terjangan Tsunami ini.

6) Kesejahteraan Ekonomi yang Tidak Merata di antara Kelompok Budaya
Kejadian yang nampak bernuansa SARA seperti Sampit beberapa waktu yang lalu setelah diselidiki ternyata berangkat dari kecemburuan sosial yang melihat warga pendatang memiliki kehidupan sosial ekonomi yang lebih baik dari warga asli. Jadi beberapa peristiwa di tanah air yang bernuansa konflik budaya ternyata dipicu oleh persoalan kesejahteraan ekonomi.
Keterlibatan orang dalam demonstrasi yang marak terjadi di tanah air ini, apapun kejadian dan tema demonstrasi, seringkali terjadi karena orang mengalami tekanan hebat di bidang ekonomi. Bahkan ada yang demi selembar kertas duapuluh ribu orang akan ikut terlibat dalam demonstrasi yang dia sendiri tidak mengetahui maksudnya. Sudah banyak kejadian yang terungkap di media massa mengenai hal ini.
Orang akan dengan mudah terintimidasi untuk melakukan tindakan yang anarkis ketika himpitan ekonomi yang mendera mereka. Mereka akan menumpahkan kekesalan mereka pada kelompok-kelompok mapan dan dianggap menikmati kekayaan yang dia tidak mampu meraihnya. Hal ini nampak dari gejala perusakan mobil-mobil mewah yang dirusak oleh orang yang tidak bertanggung dalam berbagai peristiwa di tanah air ini. Mobil mewah menjadi simbol kemewahan dan kemapanan yang menjadi kecemburuan sosial bagi kelompok tertentu sehingga akan cenderung dirusak dalam peristiwa kerusuhan. Bahkan dalam kehidupan sehari-hari pun sering kita jumpai mobil-mobil mewah yang dicoreti dengan paku ketika mobil itu diparkir di daerah tertentu yang masyarakatnya banyak dari kelompok tertindas ini.

7) Keberpihakan yang salah dari media massa, khususnya televisi swasta dalam memberitakan peristiwa.
Di antara media massa tentu ada ideologi yang sangat dijunjung tinggi dan dihormati. Persoalan kebebasan pers, otonomi, hak publik untuk mengetahui hendaknya diimbangi dengan tanggung jawab terhadap dampak pemberitaan. Mereka juga perlu mewaspadai adanya pihak-pihak tertentu yang pandai memanfaatkan media itu untuk kepentingan tertentu, yang justru dapat merusak budaya Indonesia. Kasus perselingkuhan artis dengan oknum pejabat pemerintah yang banyak dilansir media massa dan tidak mendapat “hukuman yang setimpal” baik dari segi hukum maupun sanksi kemasyarakatan dapat menumbuhkan budaya baru yang merusak kebudayaan yang luhur. 
Memang berita semacam itu sangat layak jual dan selalu mendapat perhatian publik, tetapi kalau terus- menerus diberitakan setiap hari mulai pagi hingga malam hari maka hal ini akan dapat mempengaruhi orang untuk menyerap nilai-nilai negatif yang bertentangan dengan budaya ketimuran. Kasus perceraian rumah tangga para artis yang tiap hari diudarakan dapat membentuk opini publik yang negatif. Sehingga kesan kawin cerai di antara artis itu sebagai budaya baru dan menjadi trend yang biasa dilakukan. Orang menjadi kurang menghormati lembaga perkawinan. Sebaiknya isu kekayaan tidak menjadi isu yang selalu menjadi tema sinetron karena dapat mendidik orang untuk terlalu mengagungkan materi dan menghalalkan segala cara. 
Begitu juga tampilan yang seronok mengundang birahi, pengudaraan modus kejahatan baru atau pun iklan yang bertubi-tubi dapat menginspirasi orang melakukan sesuatu yang tidak pantas dilakukan. Televisi dan media massa harus memberikan bahan tontonan dan bacaan yang mendidikkan budaya yang baik. Karena menonton televisi dan membaca koran sudah menjadi tradisi yang kuat di negeri ini. Sehingga tontonan menjadi tuntunan, bukan tuntunan sekedar menjadi tontonan.
Ketika penggusuran gubuk liar yang memilukan ditampilkan dalam bentuk tangisan yang memilukan seorang anak atau orang tua yang dipadukan dengan tindakan aparat yang menyeret para gelandangan akan bermakna lain bagi pemirsa bila yang ditampilkan adalah para preman bertato yang melawan tindakan petugas pamong praja. Ironi itu nampak bila yang disorot adalah tangisan bayi/orang tua dibandingkan dengan tato di lengan atau di punggung. Peristiwanya adalah penggusuran gubuk liar, tetapi simbol yang digunakan berbeda. Tangisan sebagai simbol kelemahan, ketidak berdayaan dan putus asa. Tato sering dikonotasikan secara salah sebagai simbol preman dan tindakan pemalakan. Televisi sangat mempengaruhi opini publik dalam menyorot berbagai peristiwa.

2.2 Problem Penyakit Budaya
Konflik bukan untuk dimusuhi, tapi dikelola secara arif dan bijaksana. Masing- masing individu yang terlibat dalam konflik perlu menjernihkan pikiran dan hati dari prasangka, stereotip, etnosentrisme, rasisme dan diskriminasi dan scape goating terhadap pihak lain.  Karena pemahaman terhadap adanya penyakit budaya tersebut merupakan kunci utama dalam proses resolusi dan manajemen konflik. Negara ini membutuhkan solusi yang memuaskan dalam menghadapi ancaman konflik dan separatisme di daerah-daerah yang lebih sering disebabkan oleh tumbuh berkembangnya berbagai penyakit budaya seperti prasangka, stereotip, etnosentrisme, rasisme dan diskriminasi ini. 
1) Prasangka
Definisi klasik prasangka pertama kali dikemukakan oleh psikholog dari Universitas Harvard, Gordon Allport yang menulis konsep itu dalam bukunya, The Nature of Prejudice pada tahun 1954. Istilah ini berasal dari praejudicium, yakni pernyataan atau kesimpulan tentang sesuatu berdasarkan perasaan atau pengalaman yang dangkal terhadap orang atau kelompok tertentu.
Menurut Allport, “Prasangka adalah antipati berdasarkan generalisasi yang salah atau tidak luwes. Antipati itu dapat dirasakan atau dinyatakan. Antipati itu bisa langsung ditujukan kepada kelompok atau individu dari kelompok tertentu.” Allport memang sangat menekankan antipati bukan sekedar antipati pribadi tetapi antipati kelompok.
Johnson (1986) mengatakan prasangka adalah sikap positif atau negatif berdasarkan keyakinan stereotip kita tentang anggota dari kelompok tertentu. Prasangka meliputi keyakinan untuk menggambarkan jenis pembedaan terhadap orang lain sesuai dengan peringkat nilai yang kita berikan. Prasangka yang berbasis ras kita sebut rasisme, sedangkan yang berbasis etnis diebut etnisisme.
Menurut John (1981) prasangka adalah sikap antipati yang berlandaskan pada cara menggeneralisasi yang salah dan tidak fleksibel. Kesalahan ini mungkin saja diungkapkan secara langsung kepada orang yang menjadi anggota kelompok tertentu. Prasangka merupakan sikap negatif yang diarahkan kepada seseorang atas dasar perbandingan dengan kelompoknya sendiri. Jadi prasangka merupakan salah satu rintangan atau hambatan bagi kegiatan komunikasi karena orang yang berprasangka sudah bersikap curiga dan menentang komunikator yang melancarkan komunikasi. 
Dalam prasangka, emosi memaksa kita untuk menarik kesimpulan atas dasar prasangka buruk tanpa memakai pikiran dan pandangan kita terhadap fakta yang nyata. Karena itu, bila prasangka sudah menghinggapi seseorang, orang tidak dapat berpikir logis dan obyektif dan segala apa yang dilihatnya akan dinilai secara negatif.
Kata Allport, prasangka negatif terhadap etnik merupakan sikap antipati yang dilandasi oleh kekeliruan atau generalisasi yang tidak fleksibel, hanya karena perasaan tertentu dan pengalaman yang salah. Karena itu, sejak dulu sampai sekarang, pengertian prasangka telah mengalami transformasi. Pada, mulanya prasangka merupakan pernyataan yang hanya didasarkan pada pengalaman dan keputusan yang tidak teruji terlebih dahulu. Pernyataan itu bergerak pada skala kontinum seperti suka/tidak suka atau mendukung/tidak mendukung terhadap sifat- sifat tertentu. Sekarang pengertian prasangka lebih diarahkan pada pandangan emosional dan negatif terhadap seseorang atau sekelompok orang dibandingkan dengan kelompok sendiri.
Definisi Allport ini disanggah oleh psikholog Theodore Adorno. Adorno yang menciptakan teori pribadi otoriter (authoritarian personality) mengemukakan melalui riset atas pola rasisme yang dilakukan di wilayah selatan AS. Ia menemukan bahwa pola-pola rasisme muncul dari kepribadian otoriter. Jadi pada dasarnya prasangka merupakan salah satu tipe kepribadian. Dengan demikian, kita tidak perlu mempermasalahkan tindakan rasisme karena tindakan itu muncul dari pribadi berprasangka (prejudiced persons) yang diwarisi dari proses sosialisasi.
Dari beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa prasangka mengandung sikap, pengertian, keyakinan dan bukan tindakan. Jadi prasangka tetap ada di pikiran, sedangkan diskriminasi mengarah ke tindakan sistematis. Kalau prasangka berubah menjadi tindakan nyata, maka prasangka sudah berubah menjadi diskriminasi yaitu tindakan menyingkirkan status dan peranan seseorang dari hubungan, pergaulan, dan komunikasi antar manusia. Secara umum kita dapat melihat prasangka mengandung tipe afektif (berkaitan dengan perasaan negatif), kognitif (selalu berpikir tentang suatu stereotip) dan konasi (kecenderungan perilaku diskriminatif). Prasangka didasarkan atas sebab-sebab seperti:
a. Generalisasi yang keliru pada perasaan,
b. Stereotip antaretnik,
c. Kesadaran “in group” dan “out group” yaitu kesadaran akan ras “mereka” sebagai kelompok lain yang berbeda latar belakang kebudayaan dengan “kami”

2) Stereotip
Stereotip merupakan salah satu bentuk prasangka antar etnik/ras. Orang cenderung membuat kategori atas tampilan karakteristik perilaku orang lain berdasarkan kategori ras, jenis kelamin, kebangsaan, dan tampilan kounikasi verbal maupun non verbal. Stereotip merupakan salah satu bentuk utama prasangka yang menunjukkan perbedaan “kami” (in group) yang selalu dikaitkan dengan superioritas kelompok in group dan yang cenderung mengevaluasi orang lain yang dipandang inferior yaitu “mereka” (out group).
Apa stereotip? Stereotip adalah pemberian sifat tertentu terhadap seseorang berdasarkan kategori yang bersifat subyektif, hanya karena dia berasal dari kelompok yang lain. Pemberian sifat itu bisa sifat positif maupun negatif. Verdeber (1986) menyatakan bahwa stereotip adalah sikap dan juga karakter yang dimiliki seseorang dalam menilai karakteristik, sifat negatif maupun positif orang lain, hanya berdasarkan keanggotaan orang itu pada kelompok tertentu. Sebagaimana halnya dengan sikap, stereotip memiliki valensi dari positif hingga negatif atas sesuatu yang disukai/tidak (favorability). 
Allan G. Johnson (1986) menegaskan bahwa stereotip adalah keyakinan seseorang untuk menggeneralisasikan sifat-sifat tertentu yang cenderung negatif tentang orang lain karena dipengaruhi oleh pengetahuan dan pengalaman tertentu. Keyakinan ini menimbulkan penilaian yang cenderung negatif atau bahkan merendahkan kelompok lain. Ada kecenderungan untuk memberi “label” atau cap tertentu pada kelompok tertentu dan yang termasuk problem yang perlu diatasi adalah stereotip yang negatif atau memandang rendah kelompok lain. Misalnya, seseorang dari suku tertentu diberi “label”, pandai bicara untuk orang dari daerah Batak. Seseorang menyimpulkan iini karena dari pengalaman dia mengetahui bahwa mereka memang banyak bicara. Ditambah dengan pengetahuan yang dia dapatkan dari televisi yang memperlihatkan bahwa sebagian besar mengacara yang terkenal di Indonesia dan sering muncul dari pemberitaan di televisi itu ternyata berasal dari orang Batak. Kita menggeneralisasikan secara salah dari informasi terbatas yang ada pada kita. Untuk mengatasi masalah ini adalah kita perlu memberi informasi yang benar dan lebih komprehensif tentang sesuatu hal sehingga stereotip semacam ini tidak tumbuh. 
Di dalam menghadapi fenomena budaya yang ada di tanah air ini, kita perlu memberi informasi yang benar tentang berbagai hal yang berkaitan dengan suku, ras, agama dan antar golongan. Seringkali, keberadaan individu dalam suatu kelompok telah dikategorisasi dan digeneralisasi. Miles Hewstone dan Rupert Brown (1986) mengemukakan tiga aspek esensial dari stereotip:
a. Karakter atau sifat tertentu yang berkaitan dengan perilaku, kebiasaan berperilaku, gender dan etnis. Misalnya wanita priangan itu suka bersolek.
b. Bentuk atau sifat perilaku turun temurun sehingga seolah-olah melekat pada semua anggota kelompok. Misalnya orang ambon itu keras.
c. Penggeneralisasian karakteristik, ciri khas, kebiasaan, perilaku kelompok pada individu yang menjadi anggota kelompok tersebut.
Pemberian stereotip merupakan gejala yang nampak alami dalam proses hubungan antarras atau etnik sehingga tidak mungkin kita tidak melakukan stereotip. Tajfel (1981) membedakan bentuk atau jenis stereotip itu dalam stereotip individu dan stereotip sosial. Stereotip individu adalah generalisasi yang dilakukan individu dengan menggeneralisasi karakteristik orang lain dengan ukuran yang luas dan jarak tertentu melalui proses kategori yang bersifat kognitif (berdasarkan pengalaman individu). Sedangkan stereotip sosial terjadi jika stereotip itu telah menjadi evaluasi kelompok tertentu, telah menyebar dan meluas pada kelompok sosial lain.
Stereotip itu bersifat unik dan berdasarkan pengalaman individu, namun kadang merupakan hasil pengalaman dan pergaulan dengan orang lain maupun dengan anggota kelompok kita sendiri. Adakah hubungan antara stereotip dengan komunikasi. Hewstone dan Giles (1986) mengajukan empat kesimpulan tentang proses stereotip: 
- Proses stereotip merupakan hasil dari kecenderungan mengantisipasi atau mengharapkan kualitas derajat hubungan tertentu antara anggota kelompok tertentu berdasarkan sifat psikhologis yang dimiliki. Semakin negative generalisasi itu kita lakukan, semakin sulit kita berkomunikasi dengan sesama. 
- Sumber dan sasaran informasi mempengaruhi proses informasi yang diterima atau yang hendak dikirimkan. Stereotip berpengaruh terhadap proses informasi individu. 
- Stereotip menciptakan harapan pada anggota kelompok tertentu (in group) dan kelompok lain (out group). 
- Stereotip menghambat pola perilaku komunikasi kita dengan orang lain.

3) Etnosentrisme
Etnosentrisme merupakan paham paham yang pertama kali diperkenalkan oleh William Graham Sumner (1906), seorang antropolog yang beraliran interaksionisme. Sumner berpandangan bahwa manusia pada dasarnya individualistis yang cenderung mementingkan diri sendiri, namun karena harus berhubungan dengan manusia lain, maka terbentuklah sifat hubungan yang antagonistik (pertentangan). Supaya pertentangan itu dapat dicegah, perl u ada folkways (adat kebiasaan) yang bersumber pada pola-pola tertentu. Mereka yang mempunyai folkways yang sama cenderung berkelompok dalam suatu kelompok yang disebut etnis. Etnosentrisme adalah kecenderungan untuk menetapkan semua norma dan nilai budaya orang lain dengan standar budayanya sendiri.

4) Rasisme
Kata ras berasal dari bahasa Perancis dan Italia “razza”. Pertama kali istilah ras diperkenalkan Franqois Bernier, antropolog Perancis, untuk mengemukakan gagasan tentang pembedaan manusia berdasarkan kategori atau karakteristik warna kulit dan bentuk wajah. Setelah itu, orang lalu menetapkan hierarkhi manusia berdasarkan karakteristik fisik atas orang Eropa berkulit putih yang diasumsikan sebagai warga masyarakat kelas atas berlawanan dengan orang Afrika yang berkulit hitam sebagai warga kelas dua. Atau ada ideologi rasial yang berpandangan bahwa orang kulit putih mempunyai misi suci untuk menyelamatkan orang kulit hitam yang dianggap sangat primitif. 
Hal tersebut berpengaruh terhadap stratifikasi dalam berbagai bidang seperti bidang sosial, ekonomi, politik, di amana orang kulit hitam merupakan subordinasi orang kulit putih. Ras sebagai konsep secara ilmiah digunakan bagi “penggolongan manusia” oleh Buffon, anthropolog Perancis, untuk menerangkan penduduk berdasarkan pembedaan biologis sebagai parameter. Pada abad 19, para ahli biologi membuat klasifikasi ras atas tiga kelompok, yaitu Kaukasoid, Negroid dan Mongoloid.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada ras yang benar-benar murni lagi. Secara biologis, konsep ras selalu dikaitkan dengan pemberian karaktersitik seseorang atau sekelompok orang ke dalam suatu kelompok tertentu yang secara genetik memiliki kesamaan fisik seperti warna kulit, mata, rambut, hidung, atau potongan wajah. Pembedaan seperti itu hanya mewakili faktor tampilan luar. Nah sekarang, carilah ciri-ciri kelompok Kaukasoid, Negroid dan Mongoloid. Kemudian cari contohnya. Mana negara yang mayoritas penduduknya memiliki ciri-ciri ketiga kelompok itu. Karena tidak ada ras yang benar-benar murni, maka konsep tentang ras seringkali merupakan kategori yang bersifat non-biologis. Ras hanya merupakan konstruksi ideologi yang menggambarkan gagasan rasis.
Secara kultural, Carus menghubungkan ciri ras dengan kondisi kultural. Ada empat jenis ras: Eropah, Afrika, Mongol dan Amerika yang berturut-turut mencerminkan siang hari (terang), malam hari (gelap), cerah pagi (kuning) dan sore (senja) yang merah. Namun konsep ras yang kita kenal lebih mengarah pada konsep kultural dan merupakan kategori sosial, bukan biologis. Montagu, membedakan antara “ide sosial dari ras” dan “ide biologis dari ras”. Definisi sosial berkaitan dengan fisik dan perilaku sosial.

5) Diskriminasi
Jika prasangka mencakup sikap dan keyakinan, maka diskriminasi mengarah pada tindakan. Tindakan diskriminasi biasanya dilakukan oleh orang yang memiliki prasangka kuat akibat tekanan tertentu, misalnya tekanan budaya, adat istiadat, kebiasaan, atau hukum. Antara prasangka dan diskriminasi ada hubungan yang saling menguatkan, selama ada prasangka, di sana ada diskriminasi. Jika prasangka dipandang sebagai keyakinan atau ideologi, maka diskriminasi adalah terapan keyakinan atau ideologi. Jadi diskriminasi merupakan tindakan yang membeda- bedakan dan kurang bersahabat dari kelompok dominan terhadap kelompok subordinasinya.

6) Kambing Hitam (Scape Goating)
Teori kambing hitam (scape goating) mengemukakan kalau individu tidak bisa menerima perlakuan tertentu yang tidak adil, maka perlakuan itu dapat ditanggungkan kepada orang lain. Ketika terjadi depresi ekonomi di Jerman, Hitler mengkambing hitamkan orang Yahudi sebagai penyebab rusaknya sistem politik dan ekonomi di negara itu. Ada satu pabrik di Auschwitz, Polandia yang digunakan untuk membantai hampir 1,5 juta orang Yahudi. Tua muda, besar kecil laki-laki dan perempuan dikumpulkan. Kepala digunduli dan rambut yang dikumpulkan mencapai hampir 1,5 ton. Rambut yang terkumpul itu akan dikirimkan ke Jerman untuk dibuat kain. Richard Chamberlain berteori bahwa bangsa Aria adalah bangsa yang besar dan mulia yang mempunyai misi suci untuk membudayakan umat manusia. Bangsa Aria (Jerman) ini merasa bahwa kekacauan ekonomi dan politik di Jerman ini disebabkan oleh bangsa Yahudi.

2.3 Cara Mencegah Terjadinya Problematika Pendidikan Multikultur di Indonesia
Krisis sosial budaya yang terjadi pada saat ini mengakibatkan kurangnya rasa kepedulian, rasa penghargaan terhadap sesama sehingga masyarakat sering mengambil keputusan melalui jalan pintas melalui berbagai tindakan yang dapat merugikan bangsa. Hal ini disebabkan penanaman nilai-nilai melalui sistem pendidikan saat ini telah mengalami penurunan, di samping materi tentang budi pekerti yang berorientasi pada unsur homogenisasi tidak menghasilkan sebagaimana yang diharapkan. Untuk itu, peran pendidikan multikutural perlu diterapkan melalui pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi, karena melalui penerapan pendidikan multikultural dapat membantu siswa mengerti, menerima, dan menghargai orang dari suku, budaya dan nilai yang berbeda.
Untuk itu, pendidikan multikultural sebagai alternatif dalam proses pendidikan nilai yang diharapkan dapat memajukan budaya bangsa, yang menghargai unsur kebhinekaan perlu diterapkan di sekolah agar pendidikan formal tidak gagal untuk memahami identitas bangsa dan tidak menjurus pada sikap dan perilaku materialistik, dan individualistik. Pada pendidikan formal perlu disisipkan strategi pengembangan pendidikan multikultural dan multikultural kurikulum, agar siswa mengetahui identitas dan krisis budaya dalam membangun multikulturalisme Indonesia.
Prinsip yang dianut Bangsa Indonesia sebagai negara “Bhinneka Tunggal Ika” mencerminkan bahwa meskipun Indonesia adalah multikultural, tetapi tetap terintegrasi dalam keikaan, dan kesatuan. Namun demikian, sudah merupakan suatu kebutuhan yang mendesak untuk merekontruksi kembali kebudayaan nasional Indonesia agar dapat menjadi “integrating force” yang mengikat seluruh keragaman etnis dan budaya. Pembentukan masyarakat multikultural Indonesia yang demokratis tidak bisa secara taken for granted atau trial and error. Sebaliknya, harus diupayakan secara sistematis, pragramatis, integrated dan berkesinambungan. Salah satu langkah yang paling strategis dilakukan adalah melalui pendidikan multikultural yang diselenggarakan melalui seluruh lembaga pendidikan, baik formal maupun non-formal, dan bahkan informal dalam masyarakat
Jadi, pada tahap pertama, pendidikan interkultural merupakan proses pendidikan nilai yang ditujukan untuk mengubah tingkah laku individu untuk tidak meremehkan apalagi melecehkan budaya orang atau kelompok lain, khususnya dari kalangan minoritas. Selain itu, juga berperan untuk tumbuhnya toleransi dalam diri individu terhadap berbagai perbedaan rasial, etnis, agama, dan lain-lain. Namun, kelemahan yang muncul adalah pada prakteknya pendidikan interkultural lebih terpusat pada individu dari pada masyarakat. 
Sedangkan, konflik dalam skala yang lebih luas, terjadi bukan pada tingkat individu, melainkan pada tingkat masyarakat sehingga dapat benar-benar mengganggu hubungan bersama di antara warga masyarakat, bangsa dan negara. Oleh sebab itu, pendidikan interkultural dipandang kurang berhasil dalam mengatasi konflik antar golongan dan masyarakat; dan kenyataan inilah pada gilirannya mendorong munculnya gagasan tentang pendidikan multikultural.
Model pembelajaran multikultural menawarkan pendekatan dengan menekankan pentingnya pluralisme sosial, keragaman budaya, etnik, dan kontekstualisme. Implementasi pendekatan ini menegaskan hal-hal sebagai berikut: pandangan sosio-antropologis menjadi dasar mengkaji karya seni dan pengalaman budaya dari pembuat atau penciptanya. Artinya, memusatkan perhatian terhadap pengetahuan pembuat atau pencipta seni sama baiknya dengan pemahaman terhadap konteks sosiobudayanya. Oleh karena itu, mengajar seyogyanya dipandang sebagai intervensi sosial dan budaya. Dengan demikian, dalam setiap upaya pengajaran guru tidak hanya mempertentangkan, tetapi secara konsisten menyadari bias sosial-budayanya. 
Dalam pendekatan multikultural, proses pendidikan dipusatkan pada siswa atau komunitas tertentu, yang memungkinkan guru memahami keyakinan serta nilai-nilai sosio-budaya siswa dalam konteks kebudayaan masyarakat, ketika akan merancang model pembelajarannya. Untuk itu, perlu diidentifikasi penggunaan pendidikan yang tanggap budaya, yang dapat menunjukkan perbedaan etnik dan sosio-budaya di kelas, masyarakat, dan nasional. Dengan demikian, disarankan untuk memusatkan perhatian pada kompleksitas yang dinamis dari berbagai faktor yang mempengaruhi interaksi manusia, seperti fisik, mental, kemampuan, kelas, jender, usia, politik, agama, dan etnisitas. 
Langkah-langkah yang diperlukan untuk mengembangkan model pembelajaran multikultural, adalah: 
1) Guru terlebih dahulu memperbaiki sikap negatif yang mereka mungkin miliki terhadap pluralisme sosial, keagamaan, dan etnis; 
2) Guru dan siswa melakukan analisis situasi agar akrab dengan masyarakat; 
3) Guru dan siswa memilih materi yang relevan dan sekaligus menarik; 
4) Guru dan siswa, bersama-sama, menyelidiki persoalan yang berkaitan dengan materi yang dipilih. Dalam hal ini, disaran-kan mengindentifikasi persoalan sosial yang berkaitan dengan agama, suku, kehidupan ekonomi, kemampuan, mental serta fisik untuk membangun masyarakat yang demokratis. 
Dengan demikian, pendidikan multikultural harus diawali dengan kesadaran dari para guru dan pengelola lembaga pendidikan itu sendiri. Guru harus mengatur dan mengorganisir isi, proses, situasi dan kegiatan sekolah secara multikultural, dimana setiap siswa dari berbagai suku, jender, ras, berkesempatan untuk mengembangkan dirinya dan saling menghargai perbedaan. Seorang guru perlu menekankan diversity dalam pembelajaran, antara lain dengan:
a. Mendiskusikan sumbangan aneka budaya dan orang dari suku lain dalam hidup bersama sebagai bangsa, dan 
b. Mendiskusikan bahwa semua orang dari budaya apa pun ternyata juga menggunakan hasil kerja orang lain dari budaya lain.

2.4 Solusi dan Problematika Pendidikan Multikultur di Indonesia
Atau lebih jelas lagi dapat kita uraikan usaha-usaha yang dapat dilakukan untuk meningkatkan mutu pendidikan, yaitu:
1. Meningkatkan Anggaran Pendidikan
Pemerintah bertanggung jawab untuk menanggung biaya pendidikan bagi warganya, baik untuk sekolah negeri maupun swasta.
2. Manajemen pengelolaan pendidikan
Manajemen pendidikan yang baik harus memperhatikan profesionalisme dan kreatifitas lembaga penyelenggara pendidikan
3. Bebaskan sekolah dari suasana bisnis
Sekolah bukan merupakan ladang bisnis bagi pejabat Dinas Pendidikan, kepala sekolah, guru maupun perusahaan swasta. Tetapi sekolah merupakan tempat untuk mencerdaskan bangsa.
4. Perbaikan kurikulum 
Penyusunan kurikulum hendaknya mempertimbangkan segala potensi alam, sumber daya manusia maupun sarana dan prasarana yang ada.
5. Pendidikan agama 
Pendidikan agama di sekolah bukan sebagai penyampaian dogma atau pengetahuan salah satu agama tertentu pada siswa tetapi sebagai penginternasionalisasian nilai-nilai kebaikan, kerendahan hati, cinta kasih dan sebagainya.
6. Pendidikan yang melatih kesadaran kritis 
Sikap yang kritis dan toleran, akan merangsang tumbuhnya kepekaan sosial dan rasa keadilan. Oleh karena itu diharapkan bisa mengatasi masalah sosial, budaya, politik, dan ekonomi bangsa ini.
7. Pemberdayaan guru 
Guru hendaknya lebih kreatif, inovatif, terampil, dan berani berinisiatif dalam mengembangkan model-model pengajaran secara variatif.
8. Memperbaiki kesejahteraan guru 
Guru merupakan faktor dominan dalam penyelenggaraan pendidikan. Oleh karena itu, upaya perbaikan kesejahteraan guru perlu ditingkatkan. Sehingga guru tidak hanya dituntut untuk meningkatkan wawasan maupun mutu mengajarnya serta menghasilkan output yang baik.
9. Perluasan dan pemerataan kesempatan untuk memperoleh pendidikan 
Adapun strategi yang dapat dilakukan, yaitu pemantapan prioritas pendidikan dasar sembilan tahun, pemberian beasiswa dengan sasaran yang strategis, pemberian insentif kepada guru yang bertugas di wilayah terpencil, pemantapan sistem pendidikan terpadu untuk anak yang memiliki kelainan, serta meningkatkan keterlibatan masyarakat dalam menunjang pendidikan yang berkualitas.

Maka dengan adanya solusi-solusi tersebut diharapkan pendidikan di Indonesia dapat bangkit dari keterpurukannya, sehingga dapat menciptakan generasi-generasi baru yang ber SDM tinggi. Berkepribadian pancasila, bermartabat dan menjadi dambaan setiap manusia. Untuk itu diperlukan pemahaman, penguasaan, kesadaran, dan semangat untuk berbuat kebaikan secara berkesinambungan. Agar dapat memberikan sentuhan untuk menuju insan terpuji sebagaimana yang diharapkan bangsa dan negara kita.   Maka dengan adanya solusi-solusi tersebut diharapkan pendidikan di Indonesia dapat bangkit dari keterpurukannya, sehingga dapat menciptakan generasi-generasi baru yang berSDM tinggi, berkepribadian pancasila dan bermartabat.


BAB III
PENUTUP

Dalam kehidupan yang kita alami pasti tidak akan terhindar dari yang namanya sebuah masalah. Setelah di pelajari bahwasanya terdapat latar belakang, pencegahan dan solusi permasalah dari problematika pendidikan multikultur. Indonesia adalah bangsa yang multikultur yang beraneka ragam budaya, ras, etnik, sehingga keanekaragaman budaya ini menyebabkan tantangan dari pendidikan multikultur. Krisis sosial budaya yang terjadi pada saat ini mengakibatkan kurangnya rasa kepedulian, rasa penghargaan terhadap sesama sehingga masyarakat sering mengambil keputusan melalui jalan pintas melalui berbagai tindakan yang dapat merugikan bangsa atau yang bisa disebut dengan problem penyakit budaya seperti rasisme, etnosentrisme, diskriminasi, stereotip dan berbagai penyakit lainnya. 
Hal ini disebabkan penanaman nilai-nilai melalui sistem pendidikan saat ini telah mengalami penurunan, di samping materi tentang budi pekerti yang berorientasi pada unsur homogenisasi tidak menghasilkan sebagaimana yang diharapkan. Penanaman pendidikan multikultural harus diawali dengan kesadaran dari para guru dan pengelola lembaga pendidikan itu sendiri. Untuk dapat mengatasi hal tersebut diperlukan sebuah usaha-usaha yang dapat dilakukan seperti perbaikan kurikulum, perbaikan manajemen pengelolaan pendidikan, pendidikan yang melatih kesadaran kritis dan masih banyak lagi solusi mengatasi problematika pendidikan multikultur. 
Agar dapat memberikan hasil yang maksimal maka konsep pendidikan multikultural perlu dipahami dan diterapkan oleh setiap anggota masyarakat. Salah satu komponen penting dari masyarakat adalah anak. Sebagai bagian dari masyarakat maka anak juga perlu memahami tentang multikulturalisme. Agar anak dapat memahami tentang keragaman budaya disekitarnya maka tentunya ia perlu diperkenalkan dengan konsep pendidikan multikultur. Harapannya, dengan implementasi pendidikan yang berwawasan multikultural, akan membantu anak mengerti, menerima dan menghargai orang lain yang berbeda suku, budaya, nilai dan kepribadian.

DAFTAR PUSTAKA


Aspia, A. M. (2018, April 2). Beberapa Solusi Pendidikan Di Indonesia. Retrieved from Blognya Para Pendidik: http://www.asraraspia.web.id/2014/03/beberapa-solusi-pendidikan-di-indonesia.html
Somantrie, H. (2018). Konflik Dalam Perspektif Pendidikan Multikultural. 5-7.
Sutarno. (2018). Problem Penyakit Budaya. 12-16.
Sutarno. (2018). Problema Pendidikan Multikultural di Indonesia. 1-5.
Unknown. (2018). Implementasi Pendidikan Multikultural dalam Pembelajaran IPS di SMP Budi Mulia Dua Yogyakarta. 1-3.
Zaki, Arisma, & Hidayat. (2018). Karakteristik Problematika Pendidikan Multikultural di Indonesia. 3-10.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Contoh Pidato Bahasa Lampung tentang budaya lampung

Makalah Perkembangan Kurikulum di Indonesia

Contoh Menganalisis Dan Mengidentifikasi Teks Penglaku Atau Kurir Bahasa Lampung