Good Governance dalam Konteks Otonomi Daerah

Good Governance dalam Konteks Otonomi Daerah

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Salah satu isu yang banyak dibahas dalam era otonomi daerah adalah masalah good governance yang sering diterjemahkan secara bebas menjadi tata kelola yang baik. Dalam implementasi otonomi daerah di berbagai daerah Indonesia, beberapa kecenderungan yang menyedihkan menurut Syaukani et al (dalam Kuncoro, 2004:69) adalah: (1) kuatnya semangat memungut retribusi, pajak, maupun pungutan lainnya, namun kurang diimbangi dengan peningkatan pelayanan publik secara optimal; (2) rendahnya akuntabilitas pemerintah daerah maupun DPRD. Praktek bad governance, tata kelola yang buruk, lebih mencuat ke permukaan dan menjadi wacana publik.
Hubungan antara pemerintah dan masyarakat bersifat sangat dinamis, karena pada awalnya pemerintah yang dibentuk oleh masyarakat menjalankan fungsi masyarakat yang memberikan kewenangan kepadanya. Dalam perjalanan waktu, pemerintah menjadi sangat berkuasa, kemudian menelan masyarakat yang membentuknya. Masyarakat kini hanya menjadi objek kekuasaan yang dijalankan oleh pemerintah. Kenyataan tersebut dapat dilihat secara jelas dalam panggung kehidupan masyarakat dunia sebelum abad ke-19.
Semua pemerintah di negara-negara Asia Tenggara dan Asia Timur memulai proses industrialisasi dari rejim autokrasi, kemudian secara bertahap bergerak ke arah yang lebih demokratis, Indonesia mengalami transisi dari rejim yang tidak demokratis menuju rejim yang semakin demokratis. Tingkat demokrasi Indonesia dinilai sudah bergerak, artinya dunia mengakui adanya perubahan penting dari rejim yang tidak demokratis menuju sistem yang lebih demokratis. 
Namun, dilihat dari sisi governance, harus diakui tata kelola pemerintahan masih tergolong lemah dan belum banyak berubah. Menurut W.B Saunders (dalam Kuncoro, 2004:70) Lemahnya governance menimbulkan dampak sebagai berikut. Pertama, kaum miskin tidak mendapatkan akses pelayanan publik yang dibutuhkan karena birokrasi yang korup. Kedua, para investor takut dan enggan menanam modal di Indonesia karena ketidakmampuan sistem peradilan untuk melaksanakan kontrak, meningkatnya kerusuhan, dan tingkat pelanggaran hukum dan keamanan yang tinggi. Ketiga, sumber daya pemerintah yang langka banyak yang hilang karena system manajemen keuangan dan pengadaan barang yang tidak transparan, manipulatif, dan banyak kebocoran.
Pada dasarnya pemerintahan yang demokratis harus dijalankan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Konsep ideal ini, dalam praktiknya, banyak mengalami penyimpangan. Pimpinan politik dan pemerintahan yang dipilih oleh masyarakat menyalahgunakan kepercayaan masyarakat dari rakyat. Korupsi, kolusi dan nepotisme merajalela di mana-mana. 
Kekayaan negara dan uang hasil pajak yang dipungut dari rakyat disalahgunakan untuk kepentingan pribadi atau kelompok. Situasi dan kondisi ini mendorong kesadaran masyarakat untuk mencari semacam sistem atau paradigma baru untuk mengawasi jalannya pemerintah baru agar tidak menyimpang dari tujuan yang menjalankan cara berpemerintahannya sesuai prinsip-prinsip good governance sehingga akan mewujudkan pemerintahan demokratis yang dicita-citakan rakyat, (Rosidin, 2010:174)

1.2 Tujuan Penulisan
1) Guna mengetahui pengertian good governance 
2) Guna mengetahui hubungan prinsip good governance dengan otonomi daerah
3) Guna mengetahui optimalisasi pelaksanaan otonomi daerah melalui good governance



BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Good Governance 
Menurut Pierre Landell-Mills & Ismael Seregeldin (dalam Nugrahaningsih, W., & Wahyu, 2004:3) mendefinisikan good governance sebagai penggunaan otoritas politik dan kekuasaan untuk mengelola sumber daya demi pembangunan sosial ekonomi. Sedangkan menurut Robert Charlick (dalam Shofa, 2018:2) mengartikan good governance sebagai pengelolaan segala macam urusan publik secara efektif melalui pembuatan peraturan dan atau kebijakan yang absah demi untuk mempromosikan nilai-nilai kemasyarakatan. Dapat ditarik benang merah bahwa good governance adalah persoalan pengaturan menyangkut bagaimana mengelola sumber-sumber sosial dan ekonomi sebagai cara atau upaya melakukan pembangunan bagaimana sumber-sumber tersebut dapat dikelola secara baik atau efisien. Untuk itu, diperlukan akuntabilitas, partisipasi prediktabilitas, aturan hukum, dan transparansi. Dengan kata lain, good governance melibatkan usaha-usaha untuk membangun sistem pernyelenggaraan pembangunan yang lebih demokratis. Beberapa lembaga bilateral/multilateral memberikan rekomendasi mengenai karakteristik dari istilah good governance, antara lain:
1. United Kingdom Overseas Development Administration (UK/ODA)
UK/ODA menjelaskan karakteristik good government, yaitu: legitimasi, akuntabilitas, kompetensi, penghormatan terhadap hukum/ hak-hak asasi manusia. Dalam pandangan UK/ODA, istilah good governance atau good government tidak dibedakan. Keduanya dianggap sama-sama merujuk aspek-aspek normatif pemerintahan yang digunakan dalam menyusun berbagai kriteria dari yang bersifat politik hingga ekonomi. Kriteria tersebut digunakan dalam merumuskan kebijaksanaan pemberian bantuan luar negeri, khususnya kepada negara-negara berkembang.
2. United Nations Development Program (UNDP)
Governance diartikan sebagai pelaksanaan kewenangan politik, ekonomi, dan administrasi untuk me-manage urusan-urusan bangsa dan negara. UNDP merekomendasikan beberapa karakteristik governance, yaitu: legitimasi politik, kerjasama dengan institusi masyarakat sipil, kebebasan berasosiasi dan partisipasi, akuntabilitas birokratis dan keuangan (finansial), manajemen sektor publik yang efisien, kebebasan informasi dan ekspresi, sistem yudisial yang adil dan dapat dipercaya. Karakteristik yang dibangun UNDP melalui anggapan dasar sebagai berikut: Gejala-gejala dari kegagalan pemerintah terlihat sebagai keseluruhan yang sama, yaitu pelayanan yang rendah, kapabilitas kebijakan yang rendah, manajemen keuangan yang lemah, peraturan yang terlalu berbelit-belit dan sewenang-wenang, alokasi sumber-sumber yang tidak tepat. Tetapi UNDP kurang menekankan pada asumsi mengenai superioritas majemuk, multipartai, sistem orientasi pemilihan umum, dan pemahaman bahwa perbedaan bentuk kewenangan politik dapat dikombinasikan dengan prinsip efisiensi dan akuntabilitas dengan cara-cara yang berbeda. Hal-hal tersebut juga berkaitan terhadap argumentasi mengenai nilai-nilai kebudayaan yang relatif; sistem penyelenggaraan pemerintahan yang mungkin bervariasi mengenai respon terhadap perbedaan kumpulan nilai-nilai ekonomi, politik, dan hubungan sosial, atau dalam hal-hal seperti: partisipasi, individualitas, perintah dan kewenangan. UNDP menganggap bahwa good governance dapat diukur dan dibangun dari indikator- indikator yang komplek dan masing-masing menunjukkan tujuannya.
3. World Bank (Bank Dunia)
World Bank, “Development in Practice, Governance: The World Bank Experience, World Bank Publication, Washington D.C, 1994 Bank Dunia mengungkapkan sejumlah karakteristik good governance, yaitu: masyarakat sipil yang kuat dan partisipatoris; terbuka; pembuatan kebijakan yang dapat diprediksi; eksekutif yang bertanggung Jawab; birokrasi yang profesional; dan aturan hukum. Bank Dunia lebih suka menggunakan istilah good (public) governance. Dalam perspektif Bank Dunia, governance adalah sifat dari kekuasaan yang dijalankan melalui manajemen sumber ekonomi dan sosial negara yang digunakan untuk pembangunan.
4. OECD’s Development Assistance Committee (DAC)
Good governance memiliki kriteria yang mencakup ruang lingkup sebagai berikut:
a) Pembangunan partisipatoris (participatory development);
b) Hak-hak azasi manusia (human rights);
c) Demokratisasi (democratization).

Upaya perwujudan good governance, sebagaimana diketahui bahwa dalam rangka demokratisasi dan pembatasan kekuasaan, dikenal adanya prinsip pemisahan kekuasaan, baik secara horisontal maupun vertikal. Di dalam hal kaitannya dengan otonomi daerah yaitu dengan adanya kesetaraan hubungan pusat dan daerah. Walaupun pemerintah pusat memiliki kewenangan lebih dari berbagai urusan, tetapi pemerintah daerah juga mempunyai hak untuk mengurus dan mengatur kepentingan daerahnya sendiri. Sebab, pemerintah daerah lebih paham dan mengerti apa yang menjadi kebutuhan dari daerah tersebut. Terhadap hak yang dimiliki daerah itu, maka aspirasi dan kepentingan daerah akan mendapat perhatian dalam setiap pengambilan kebijakan oleh pemerintah pusat. Pengambilan kebijakan tersebut menjadikan pemerintah daerah merepresentasikan bentuk desentralisasi dari pemerintah pusat dan sekaligus menjadi landasan demokrasi daerah.

2.2 Hubungan Prinsip Good governance dengan Otonomi Daerah
Konsep governance menjadi sangat penting dan banyak di perbincangkan ketika konsep government dianggap kurang bisa menjadi leader dalam mengikuti perubahan yang begitu cepat dalam ranah pelayanan publik. Perubahan yang dimaksud adalah bertambahnya kompleksitas dalam penyelenggaraan pemerintahan. 
Dalam penyelenggaraan pemerintahan sekarang ini diperlukan pihak luar pemerintahan yang bisa mendukung kinerja dari pemerintah dalam rangka mewujudkan pelayanan publik yang lebih baik. Ada 3 hal yang menjadikan governance menjadi konsep yang perlu dikembangkan: Pertama, governance adalah suatu sistem administrasi yang melibatkan banyak pelaku dari pemerintah dan unsur-unsur non pemerintahan. Governance bukanlah sebagai pengganti government tetapi lebih kepada pelengkap dari sebuah pemerintahan. Kebijakan tidak lagi dikembangkan dengan semata-mata mempertimbangkan aspek konstitusional legal formal saja, tetapi juga mmpertimbangkan aspek nilai yang berkembang dalam masyarakat. 
Kedua, Governance atau tata kelola pemerintahan sengaja di kembangkan untuk merespon masalah dan kepentingan publik. Konsentrasi dari tata kelola pemerintahan adalah kepentingan publik secara kolektif dan bukan pada kepentingan warga negara sebagai individu. Ketiga, Struktur yang dikembangkan bukanlah struktur yang formal, rigid dan kaku, melainkan struktur yang informal, lentur dan longgar.
Untuk mencapai cita-cita ideal governance maka harus ada 3 hal yang harus dicapai: pertama, Economic governance: yang mencakup proses pembuatan keputusan yang mempengaruhi aktivitas ekonomi negara atau berhubungan dengan ekonomi lainnya baik secara langsung atau tidak langsung. Karena itu economic governance memiliki pengaruh atau implikasi terhadap equity, poverty, dan quality of life. Kedua, political governance merujuk pada proses pembuatan keputusan dan implementasi kebijakan suatu negara yang legitimate dan authoritative. Karena itu negara harusnya terdiri atas tiga cabang pemerintahan yang terpisah yaitu eksekutif, legislatif dan yudikatif, yang bisa mewakili kepentingan politik yang pluralis. Ketiga, Administrative governance, yakni sistem implementasi kebijakan yang melaksanakan sektor publik secara efisien, tidak memihak, akuntabel dan terbuka. 
Governance berlaku dan berlangsung di semua tingkatan, baik nasional maupun lokal. Sementara itu good governance dipahami sebagai tata kelola pemerintahan yang baik dengan memenuhi prinsip akuntabilitas, transparansi, responsivitas, kesamaan dan keadilan, efektivitas dan efisien, kepastian hukum, partisipatif dan representatif. Hal tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut:
1) Akuntabilitas: prinsip ini mengandung arti bahwa tata kelola pemerintahan adalah suatu sistem penyelenggaraan yang melibatkan kerjasama multistake-holder baik masyarakat sipil maupun sektor swasta. Relasi ini bersifat saling mendukung dan melengkapi dalam memenuhi kebutuhan publik.
2) Transparansi: prinsip ini mengandung arti bahwa pembuatan kebijakan pemerintahan dan pelaksanaannya telah sesuai dengan aturan yang berlaku. Hal ini juga mengandung artian bahwa terdapat ketersediaan dan keterbukaan akses informasi yang dapat di lihat oleh semua masyarakat. Sehingga seluruh masyarkat mampu melakukan mekanisme kontrol terhadap penyelenggaraan pemerintahan.
3) Responsivitas: prinsip ini mengandung arti bahwa tata kelola pemerintahan melalui struktur kelembagaannya di kembangkan untuk tanggap menyikapi tantangan dan mengatasi permasalahan yang dihadapi seluruh elemen masyarakat.
4) Kesamaan dan keadilan: prinsip ini mengandung arti bahwa tata kelola pemerintahan yang baik harus memperhatikan kesejahteraan masyarakatnya. Hal ini berhubungan dengan bagaimana menciptakan tata kelola pelayanan kepada masyarakat tanpa ada pengecualian dan harus didasarkan atas azas keadilan. Sehingga masyarakat akan merasa dihargai dan dilayani sebagaimana hak masyarakat sebagai warganegara.
5) Efektivitas dan efisiensi: prinsip ini mengandung arti bahwa penyelenggaraan pemerintahan dapat menghasilkan pembangunan yang memenuhi kebutuhan masyarakat dengan pengelolaan pelayanan terbaik. Konsep efisiensi dalam konteks good governance juga mencakup pemanfaatan berkelanjutan sumber daya alam dan kelestarian lingkungan hidup.
6) Kepastian hukum: prinsip ini mengandung arti bahwa tata pemerintahan yang baik harus menjunjung tinggi azas kepastian hukum. Penyelenggaraan pemerintahan harus menjalankan prinsip persamaan semua orang di depan hukum tanpa melihat status sosial, ekonomi, politik ataupun kekuasaan.
7) Partisipatif: prinsip ini mengandung arti bahwa seluruh elemen masyarakat harus terlibat aktif dan menjadi pertimbangan dalam pembuatan kebijakan pemerintah/negara. Mayarakat dapat menggunakan hak politiknya untuk dipilih ataupun memilih melalui pemilu. Selain itu juga masyarakat bebas dalam menyampaikan aspirasinya melalui akses media informasi dan organisasi-organisasi.
8) Representative: prinsip ini mengandung arti bahwa tata pemerintahan yang baik memiliki strategi untuk mengakomodasi kepentingan-kepentingan yang berbeda dalam masyarakat. Terkait pemahaman hal ini sangat di perlukan pemahaman dalam konteks historis, budaya, dan sosial dari kondisi masyarakat, (UNESCAP, 2011:2-3).

Fenomena yang menarik dari lahirnya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sekaligus merevisi keberadaan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Otonomi Daerah adalah lebih memberikan penegasan bahwa dalam rangka melaksanakan proses desentralisasi harus dilakukan penataan daerah yang ditujukan untuk mempercepat peningkatan kesejahteraan masyarakat dan oleh karenanya diperlukan adanya peningkatan kualitas pelayanan publik yang maksimal dengan harapan akan tercipta peningkatan daya saing nasional secara umum dan daya saing di tingkat daerah secara khusus.
Namun demikian sekelumit pertanyaan bergelayut dibenak masyarakat tentang apa yang salah dengan sistem pelayanan publik khususnya di era desentralisasi? Apakah amanat yang diberikan oleh undang-undang otonomi daerah dengan melimpahkan sebagian wewenang pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus pemerintahan secara mandiri tidak mampu menyentuh masyarakat di daerah sehingga tidak menyentuh apa yang dimanatkan oleh Undang-Undang?
Perlu adanya evaluasi mengenai pelaksaan good governance di era sekarang ini untuk menjawab pertanyaan yang muncul sepeerti di atas. Apakah pemerintahan sudah menetapkan prinsip good governance yang baik? Di awali dengan prinsip akuntabilitas, dimana pemerintah seharusnya bertanggungjawab untuk memerintah kepada masyarakat.  Akuntabilitas bermakna pertanggungjawaban dengan menciptakan pengawasan melalui distribusi kekuasaan pada berbagai lembaga pemerintah sehingga mengurangi penumpukkan kekuasaan sekaligus menciptakan kondisi saling mengawasi (checks and balances system). Lembaga pemerintahan yang dimaksud adalah eksekutif (presiden, wakil presiden, dan kabinetnya), yudikatif (MA dan sistem peradilan) serta legislatif (MPR dan DPR). Peranan pers yang semakin penting dalam fungsi pengawasan ini menempatkannya sebagai pilar keempat.
Secara garis besar disimpulkan bahwa akuntabilitas berhubungan dengan kewajiban dari institusi pemerintahan maupun para aparat yang bekerja di dalamnya untuk membuat kebijakan maupun melakukan aksi yang sesuai dengan nilai yang berlaku maupun kebutuhan masyarakat. Akuntabilitas publik menuntut adanya pembatasan tugas yang jelas dan efisien dari para aparat birokrasi.
Prinsip transparansi menegaskan bahwa pemerintah harus mengembangkan sikap keterbukaan. Bersikap terbuka dan bertanggungjawab untuk mendorong para pimpinan dan seluruh sumber daya manusia di dalamnya berperan dalam mengamalkan dan melembagakan kode etik, sehingga dapat menjadikan diri mereka sebagi panutan masyarakat dan itu dilakukan sebagai bagian dari pelaksanaan tanggungjawab dan pertanggungjawaban kepada masyarakat dan negara. Keterbukaan pemerintahan merupakan syarat mutlak bagi suatu pemerintahan yang efisien. Keterbukaan mengandung makna bahwa setiap orang mengetahui proses pengambilan keputusan oleh pemerintah. Dengan mengetahui memungkinkan masyarakat itu memikirkan dan pada akhirnya ikut membuat keputusan.
Dalam persoalan negara yang muncul bertubi-tubi juga merupakan suatu yang harus menjadi perhatian pemerintah, responsif sikap pemerintah yang tegas  dalam menyelesaikan permasalahan yang ada di negara dapat  memberi distribusi kepada masyarakat, sehingga menumbuhkan kepercayaan rakyat terhadap pemerintah, sehingga keinginan rakyat sejalan dengan roda pemerintahan, tercapailah cita-cita negara membentuk pemerintahan yang baik. Patutlah seorang pemimpin negeri cepat tanggab akan setiap permasalahan yang perlu diatasi sehingga tidak terjadi chaos.
Keadilan mengharuskan setiap pelaksanaan pemerintah untuk bersikap dan berperilaku adil dalam hal pelayanan publik tanpa mengenal perbedaan keyakinan, suku, jenis kelamin, dan kelas sosial. Prinsip ini menciptakan kepercayaan timbal-balik antara pemerintah dan masyarakat melalui penyediaan informasi dan menjamin kemudahan di dalam memperoleh informasi yang akurat dan memadai. Informasi adalah suatu kebutuhan penting masyarakat untuk berpartisipasi dalam pengelolaan daerah. Berkaitan dengan hal tersebut pemerintah daerah perlu proaktif memberikan informasi lengkap tentang kebijakan dan layanan yang disediakannya kepada masyarakat. Pemerintah daerah perlu mendayagunakan berbagai jalur komunikasi seperti melalui brosur, leaflet, pengumuman melalui koran, radio serta televisi lokal. Pemerintah daerah perlu menyiapkan kebijakan yang jelas tentang cara mendapatkan informasi. 
Pemerintahan yang baik dan bersih juga harus memenuhi kriteria efektif dan efisien yakni berdaya guna dan berhasil-guna. Kriteria efektif biasanya di ukur dengan parameter produk yang dapat menjangkau sebesar-besarnya kepentingan masyarakat dari berbagai kelompok dan lapisan sosial. Agar pemerintahan itu efektif dan efisien, maka para pejabat pemerintahan harus mampu menyusun perencanaan-perencanaan yang sesuai dengan kebutuhan nyata masyarakat, dan disusun secara rasional dan terukur. Dengan perencanaan yang rasional tersebut, maka harapan partisipasi masyarakat akan dapat digerakkan dengan mudah, karena program-program itu menjadi bagian dari kebutuhan mereka. Proses-proses pemerintahan dan lembaga-lembaga membuahkan hasil sesuai kebutuhan warga masyarakat dan dengan menggunakan sumber-sumber daya yang ada seoptimal mungkin.
Pengelolaan pemerintahan yang professional harus didukung oleh penegak hukum yang berwibawa. Tanpa di topang oleh sebuah aturan hokum dan penegaknya secara konsekuen, partisipasi publik dapat berubah menjadi tindakan anrkis. Publik membutuhkan ketegasan dan kepastian hukum. Tanpa kepastian dan ketegasan dalam aturan hukum proses politik tidak akan berjalan dan tertata dengan rapiSehubungan dengan itu, dalam proses mewujudkan cita good governance, harus diimbangi dengan komitmen untuk menegakkan rule of law dengan karakter-karakter antara lain sebagai berikut: Supremasi hukum (the supremacy of law), Kepastian hukum (legal certainty), Hukum yang responsip, Penegakkan hukum yang konsisten dan non-diskriminatif, Indepedensi peradilan. Kerangka hukum harus adil dan diberlakukan tanpa pandang bulu, termasuk di dalamnya hukum-hukum yang menyangkut hak asasi manusia.
Semua warga masyarakat mempunyai suara dalam pengambilan keputusan, baik secara langsung maupun melalui lembaga-lembaga perwakilan sah yang mewakili kepentingan mereka. Partisipasi menyeluruh tersebut dibangun berdasarkan kebebasan berkumpul dan mengungkapkan pendapat, serta kapasitas untuk berpartisipasi secara konstruktif. Partisipasi bermaksud untuk menjamin agar setiap kebijakan yang diambil mencerminkan aspirasi masyarakat. 
Dalam rangka mengantisipasi berbagai isu yang ada, pemerintah daerah menyediakan saluran komunikasi agar masyarakat dapat mengutarakan pendapatnya. Jalur komunikasi ini meliputi pertemuan umum, temu wicara, konsultasi dan penyampaian pendapat secara tertulis. Bentuk lain untuk merangsang keterlibatan masyarakat adalah melalui perencanaan partisipatif untuk menyiapkan agenda pembangunan, pemantauan, evaluasi dan pengawasan secara partisipatif dan mekanisme konsultasi untuk menyelesaikan isu sektoral.
Dewasa ini ketinggalan Indonesia dalam kemajuan ekonomi dan tekhnologi semakin memprihatinkan, tantangan ini bagi Indonesia bersifat rumit karena kenyataan ekonomi dan kemajuan teknologi dewasa ini berubah secara drastis, ketinggalan seperti ini yang harus dikejar untuk membangun negara yang berkelas dunia. Pandangan strategis menjadi penting dalam rangka realisasi good and clean governance. Dengan kata lain kebijakan apapun yang akan diambil saat ini harus di perhitungkan sebab perjalanan panjang kedepan, tidak hanya sekedar memiliki agenda strategis  untuk masa yang akan datang seseorang yang menempati jabatan publik mempunyai kemampuan menganalisis persoalan-persoalan dan tantangan yang akan dihadapi oleh pemerintah kedepan.
Hal ini merupakan suatu keharusan bahwa di era otonomi daerah sektor pelayanan publik sudah semestinya menjadi lebih responsif terhadap kepentingan publik. Hal ini didasari oleh beralihnya paradigmanya ke pelayanan yang lebih fokus pada berbagai kegiatan yang manfaatnya harus dirasakan langsung oleh masyarakat dengan mengedepankan aspek pemberdayaan masyarakat sehingga publik dapat merasakan rasa memiliki yang tinggi terhadap berbagai fasilitas-fasilitas yang telah dibangun secara bersama. 
Berbicara mengenai pelayanan publik tentunya tidak dapat dipisahkan dari kebijakan publik yang merupakan dua variabel penting yang memiliki hubungan kausalitas tinggi, keduanya tidak dapat dipisahkan namun dapat dibedakan dari segi fungsinya. Pelayanan yang baik harus bertitik tolak dari adanya kebijakan publik sehingga memiliki dasar hukum yang jelas untuk mencegah terjadinya berbagai penyimpangan-penyimpangan, begitu pula sebaliknya, kebijakan publik harus senantiasa berorientasi kepada pelayanan dan tidak sekadar menjadi ketentuan formal di atas kertas, (Rasya, 2014:2)
Pelayanan harus mampu memberikan makna dalam arti sesungguhnya serta memberikan manfaat terhadap kehidupan masyarakat secara keseluruhan yang pada akhirnya akan tercipta suatu pemerintahan yang baik dan bersih (good and clean governance), dengan melibatkan seluruh komponen pemangku kepentingan, baik dilingkungan birokrasi maupun di lingkungan masyarakat. Penyelenggaraan yang baik adalah pemerintah yang dekat dengan masyarakat yang dalam memberikan pelayanan harus sesuai dengan kebutuhan masyarakat karena esensi dari pemerintahan yang baik dicirikan dengan terselenggaranya pelayanan publik yang baik yang sejalan dengan esensi kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah yang ditujukan untuk memberikan keleluasaan kepada daerah dalam mengatur dan mengurus masyarakat setempat dan meningkatkan pelayanan publik.
Sejatinya, di era otonomi daerah birokrasi sudah semestinya lebih dekat dan secara langsung berhadapan dengan masyarakat serta merupakan perwujudan dan perpanjangan tangan pemerintah. Pelayanan yang diberikan birokrasi di daerah sangat identik dengan pelayanan pemerintah dan oleh karena itu Undang-Undang tentang pemerintah daerah (dulu dan sekarang) tetap mengamanahkan dan mengutamakan adanya peningkatan kualitas pelayanan publik di berbagai sektor kehidupan yang harus menjadi acuan untuk dilaksanakan dan sudah semestinya mendarah daging dalam diri setiap birokrasi di daerah.

2.3 Optimalisasi Pelaksanaan Otonomi Daerah melalui Good Governance
Semangat reformasi yang bergulir tahun 1998 menjadi tonggak penting bagi kehidupan demokrasi Indonesia. Selain bergantinya rezim kekuasaan yang otoriter, gerakan reformasi juga menyuarakan pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Selama rentang waktu 16 tahun perjuangan untuk menghapuskan KKN dengan cara reformasi birokrasi belum mencapai hasil yang maksimal. Sehingga pencapaian good governance belum mampu memenuhi hasrat dari semangat perjuangan awal reformasi.
Parameter pengukuran dari kurang maksimalnya dalam mewujudkan good governance tersebut tidak bisa dilepaskan dari kinerja birokrasi yang kurang profesional dan maraknya kasus korupsi. Selain itu pendapat Siti Zuhro (dalam Informasi B.P, 2014:2) melihat birokrasi di Indonesia juga masih tidak rasional, gemuk (kaya struktur miskin fungsi), tidak netral dan tidak transparan. Selain itu implementasi good governance di Indonesia masih belum maksimal dan cenderung stagnan karena para birokrat kita belum mampu memisahkan antara jabatan politik dengan jabatan birokrasi. Adapun masalah yang muncul akibat pelaksanaan good governance yang belum baik yaitu: 
1. Praktik KKN yang merajalela di kalangan pemerintah daerah maupun pusat. 
Seperti yang sudah diantarkan di paragraf awal bahwasanya praktik KKN masih Korupsi yang sudah ada ditengah-tengah negara kita dan berusaha dihapuskan namun belum mencapai hasil yang dirapkan. Korupsi telah menjadi bagian dari kehidupan bangsa, untuk itu kita tidak boleh bersikap acuh tak acuh, karena korupsi merusak kehidupan ekonomi dan landasan moral tata kehidupan.Upaya mewujudkan good governance di Indonesia merupakan suatu prioritas yang harus dilaksanakan dalam rangka menciptakan suatu tatanan masyarakat, bangsa, dan negara yang lebih sejahtera, jauh dari korupsi, kolusi, dan nepotisme, karena dalam kenyataannya masyarakat masih jauh dari hidup layak, korupsi saat ini masih meraja lela. Namun demikian perjuangan dalam menciptakan pemerintahan yang bersih tidak boleh berhenti, harus tetap dilanjutkan dan diupayakan semaksimal mungkin hingga suatu saat akan dirasakan begitu bermartabatnya bangsa yang memiliki komitmen, tanggung jawab, dan harga diri.
2. Pelayanan publik yang belum terlaksana secara maksimal.
Semua faktor belum dapat dilaksanakan oleh pejabat sektor publik dari segi effectivitas kinerja dapat dilihat bangunan-bangunan yang dibuat banyak yang terbengkalai dalam arti bahwa tidak dapat dimanfaatkan, karena memang belum waktunya dibutuhkan sedangkan instansi itu sudah merancangnya karena anggaran sudah disetujui pihak legislatifnya. Rehabilitasi jalan dilakukan setiap tahun karena hasil rehabilitasi itupun ternyata hanya mempunyai daya tahan paling tinggi 4 bulan hal ini menunjukkan kualitas bangunan fisik tidak memadai, apakah dikarenakan dana terbatas atau memang bestek yang dibuat tidak sesuai dengan yang seharusnya. Tapi jika memang dana terbatas berarti pemborosan saja membuang uang yang tak bermanfaat.
3. Dari kacamata akuntansi keuangan secara tehnis ternyata ada 3 permasalahan utama yang menyebabkan good governance itu masih jauh dari kenyataan. Pertama, tidak adanya sistem akuntansi yang handal yang diperlukan untuk mendukung pelaksanaan pencatatan dan pelaporan, menyebabkan lemahnya pengendalian intern pada pemerintahan daerah. 
Kedua, terbatasnya personil didaerah yang berlatar belakang pendidikan akuntansi, selain itu juga sedikit sarjana akuntansi yang qualified yang tertarik untuk mengembangkan profesinya di Pemerintahan daerah karena kompensasi yang rendah yang ditawarkan kepada mereka. 
Ketiga, belum adanya standar akuntansi keuangan sektor publik yang baku, hal ini penting untuk acuan pembuatan laporan keuangan sebagai salah satu mekanisme pengendalian. Proses transparansi masih sulit dilaksanakan oleh karena didalam pertanggung jawaban keuangan secara kasat mata tidak dapat ditampilkan, banyaknya pertanggung jawaban yang direkayasa dikarenakan pengeluaran-pengeluaran fiktif dan ini tentu sukar bagi pejabat publik untuk mempertanggung jawabkan secara lebih transparansi. 
Oleh karena itu Pemerintah pada laporan pertanggung jawabannya penuh dengan trick-trick perekayasaan tinggal tergantung bagaimana si pejabat publik itu berdiplomasi dengan anggota legislatif atau bagaimana mereka bernegosiasi. Kasus mafia Pajak menyoroti sidang Dewan Perwakilan Rakyat untuk menggunakan hak angket menunjukkan ketidak mampuan pejabat publik dibidang perpajakan untuk melaksanakan tugas tranparansi dan pertanggung jawabannya kepada masyarakat. Kasus bank centuri yang mengakibatkan kerugian negara hingga saat ini belum juga tuntas, sehingga angan-angan mewujudkan pemerintahan yang bersih tidak kunjung tercapai, bagaimana pemerintah akan berwibawa.
4. Disektor kemasyarakatan menjadi catatan buat kita terjadinya penistaan agama yang terjadi baru-baru ini,serta terjadinya tindakan yang anarkis akibat dari penistaan agama itu, inipun termasuk betapa sulitnya pemerintah mewujudkan pemerintahan yang good governance. Banyaknya kasus penyerobotan lahan oleh pihak pengembang melalui perizinan yang dikeluarkan pejabat publik tanpa mempertimbangkan hak-hak rakyat semestinya yang mana sekaligus merambat pada pelanggaran hak asasi manusia. Sebaliknya juga banyaknya terjadi penyerobotan lahan dan perambahan lahan oleh rakyat yang sebenarnya karena lemahnya pengawasan dan penegakan hukum oleh pejabat publik terkait.

Terwujudnya good governance di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari berhasil tidaknya kinerja birokrasi. Keduanya mempunyai hubungan yang positif, dalam arti saling mempengaruhi. Kinerja birokrasi dan pemberdayaan masyarakat yang semakin bagus dan intensif akan berpengaruh positif terhadap pembangunan bangsa dan negara. Hubungan yang bersinergi antara pemerintah dan masyarakat, akan menghasilkan suatu pemerintahan yang kuat dan didukung oleh masyarakat.
Dibutuhkan keberanian melakukan perubahan atau reformasi birokrasi untuk mewujudkan pelayanan tata kelola pemerintahan yang lebih baik. Strategi yang dilakukan dapat dimulai dari proses rekrutmen sumber daya manusia yang profesional. Birokrasi harus melakukan seleksi fit and proper test dan menjauhkan dari sikap kolusi dan nepotisme, birokrasi perlu memberikan penghargaan dan imbalan gaji sesuai dengan pencapaian prestasi (reward merit system) bukan hubungan kerja yang kolutif, diskriminatif, dan kurang mendidik (spoil system), yang paling penting juga adalah mengedepankan pola reward and punishment yang mungkin selama ini kurang berjalan. Birokrasi pemerintah harus netral dan bisa membedakan antara jabatan publik dan jabatan politik, sehingga tidak memanfaatkan fasilitas negara untuk kepentingan pribadi, golongan, kelompok atau partai politik. Adapun masalah 
Reformasi Pelayanan Publik di Era Otonomi Daerah
Tidak bisa dipungkiri bahwa kehadiran Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 semakin memberikan bukti sekaligus mempertegas pelaksanaan konsep desentralisasi dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan menghimbau kepada pemerintah, utamanya pemerintah daerah untuk lebih fokus dalam melaksanakan pelayanan diberbagai aspek penyelenggaraan pemerintah. Penegasan lebih lanjut disebutkan bahwa “Penyelengaraan pemerintahan daerah diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat serta peningkatan daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip-prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan dan kekhasan suatu daerah dan antar daerah, potensi dan keanekaragaman daerah serta peluang dan tantangan dalam kesatuan sistem penyelenggaraan pemerintahan negara”. 
Bertitik tolak dari penegasan yang terkandung dalam undang-undang tersebut adalah bahwa tujuan penyelenggaraan pemerintahan daerah melalui pemberian otonomi yang seluas-luasnya adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dimana salah satu yang menjadi indikatornya adalah penyelenggaraan pelayanan publik. 
Harus diakui bahwa dalam praktiknya selama ini terkait dengan pelayanan publik maka akan terlihat arah dan kebijakan yang tidak pasti, masyarakat yang pada dasarnya memiliki hak-hak dasar yang pemenuhannya menjadi tanggung jawab dari pemerintah acapkali dalam realitasnya ditemukan banyak arah dan kebijakan layanan publik yang tidak ditujukan untuk peningkatan kesejahteraan publik, namun yang terjadi justru sebaliknya, layanan publik justru mendorong masyarakat untuk “melayani” elit penguasa. Berbagai bentuk kebijakan yang dilahirkan oleh pemerintah baik dalam bentuk hukum, peraturan perundang-undangan dan peraturan-peraturan lainnya yang bertalian dengan layanan publik yang pada dasarnya bertujuan untuk melindingi hak-hak setiap warga negara namun dalam prakteknya banyak ditemukan kenyataan-kenyataan yang melanggar kepentingan-kepentingan warga negara. 
Terlepas dari berbagai fenomena tersebut diatas, melalui Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah ini sudah saatnya setiap pemerintahan daerah melalui aparat-aparat birokrasinya untuk segera bangkit dalam menata pemerintahannya dengan segera meninggalkan pola-pola dan sistem-sistem lama yang telah terbukti tidak mampu menghasilkan kinerja yang optimal dalam melayani masyarakat yang senantiasa berobah secara cepat. Alasan-alasan adanya keterbatasan sarana dan prasarana tidak lagi relevan untuk dijadikan pembenaran tentang rendahnya mutu dan kualitas pelayanan, hal terpenting yang harus dimiliki adalah faktor kemandirian dan kemampuan yang handal dari pemerintah dalam memenuhi segala kebutuhan pelayanan pada umumnya.
Dalam menghadapi kondisi ini, sudah seharusnya pemerintah dan pemerintah daerah untuk kembali fokus melakukan penataan dibidang administrasi negara dan birokrasi pemerintahan sembari melaksanakan transformasi paradigmatik dengan mendisain ulang sistem organisasi layanan publik, dengan kata lain menjadikan semboyan Excelent Service harus menjadi acuan dalam mendisain struktur organisasi di pemerintahan daerah sehingga akan mampu menciptakan kinerja pemerintahan yang efektif, efisien dan profesional yang setidaknya mampu menghapus “stempel” buruk birokrasi yang selama ini diberikan oleh masyarakat terhadap birokrasi pemerintah. 
Bila semua daerah otonom mampu menyelenggarakan pemerintahan secara bersih dan demokratis maka secara nasional pemerintah kita pada suatu saat nanti akan dapat melahirkan birokrasi-birokrasi yang bersih dan profesional yang membawa Indonesia menjadi negara besar yang diakui dunia.



BAB III
PENUTUP

Asas penyelenggaraan pemerintahan daerah menjadi tolok ukur suskses tidaknya pelaksanaan pemerintahan daerah. Kinerja Pemerintah daerah dalam implementasi kebijakan atau politik desentralisasi, yang dianggap sebagai bentuk pemerintahan yang yang baik (Good Governance), serta praktek sistem pemerintahan yang bertingkat (terstruktur) yang unggul dalam pelayanan publik, dikemudian hari dalam pelaksanaannya akan dihadapkan pada tantangan-tantangan yang tidak ringan karena tuntutan peningkatan kopetensi para aparatur dalam pemerintahan dan kapasitas lembaga pemerintah daerah yaitu berupa globalisasi dan ketidak puasan kinerja pemerintah selama dalam menjalankan tugas menyejahterakan penduduk serta melayani dan menyediakan pelayanan yang bermutu kepada masyarakat.
Membangun budaya birokrasi dalam sistem pemerintahan yang ideal adalah membangun sikap dan perilaku sistem yang harus diikuti secara konsisten oleh pelakunya untuk menciptakan tata pemerintahan yang baik dan amanah. Menjawab permasalahan bangsa sekarang ini tentang carut marutnya sistem birokrasi, tidakan korupsi yang semakin massif dan sudah menjadi kebudayaan dari masyarakat Indonesia mengakibatkan tidak terwujudya good governance di masyarakat. Untuk menjawab semua permasalahan yang sedang dihadapi dan keinginan untuk mewujudkan tujuan nasional bangsa Indonesia yang berdaulat adil dan makmur, maka harus ada keberanian atau politi-cal will dari semua pihak untuk mau mewujudkan dan mengimplementasikan peraturan-peraturan yang sudah ada secara konsekuen. Selain itu juga harus ada tindakan konkrit dalam upaya reformasi birokrasi demi terwujudnya pemerintahan yang bersih dan akuntabel (good governance). Usulan tersebut cukup realistis dan penting untuk ditindaklanjuti oleh semua pihak, baik masyarakat maupun para pemimpin demi terwujudnya good governance.



DAFTAR PUSTAKA

Informasi, B. P. (2018, April 4). Bagian Pemerintahan Gelar Rakor Tindak Lanjut Pelaksanaan UU No. 23 Tahun 2014. Retrieved from Pemerintah Kota Malang: https://malangkota.go.id/2016/12/09/bagian-pemerintahan-gelar-rakor-tindak-lanjut-pelaksanaan-uu-no-23-tahun-2014/
Kuncoro, M. (2004). Otonomi dan Pembangunan Daerah Reformasi, Perencanaan, Strategi, dan Peluang. Jakarta: Erlangga.
Nugrahaningsih, W., & Wahyu, U. I. (2018). Implementasi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014tentang Pemerintah Daerah Terkait Asas Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Di Desa Bale Panjang Kecamatan Baturetno Kabupaten Wonogiri, 50.
Raysha, B. P. (2018, April 2). Reformasi Pelayanan Publik Melalui UU No.23/2014 . Retrieved from Harian Umum Halaun Riau Mencerdaskan Kehidupan Masyarakat: http://riaumandiri.co/mobile/detailberita/11588/reformasi-pelayanan-publik-melalui-uu-no.23/2014.html
Rosidin, U. (2010). Otonomi Daerah dan Desentralisasi Dilengkapi Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 dengan Perubahan-Perubahannya. Bandung: CV Pustaka Setia.
Shofa, A. M. (2018). Dari Desentralisasi Hingga Good Governance: Antara Harapan Dan Realitas. Jurnal Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, 1-7.
UNESCAP. (2018, Mei 23). What is Good Governance? . Retrieved from United Nations Economic and Social Commission for Asia and the Pacific: https://www.unescap.org/sites/default/files/good-governance.pdf



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Contoh Pidato Bahasa Lampung tentang budaya lampung

Makalah Perkembangan Kurikulum di Indonesia

Contoh Menganalisis Dan Mengidentifikasi Teks Penglaku Atau Kurir Bahasa Lampung