Landasan, Latar Belakang dan Kerangka Civic Education
Landasan, Latar Belakang dan Kerangka
Civic Education
A. Landasan pendidikan kewarganegaraan
Meliputi landasan filosofis, landasan teoritis, landasan historis, landasan sosilologis dan yuridis.
1. Landasan Filosofis
Membangun semangat kebangsaan-kebangsaan dalam mengisi kemerdekaan disegala aspek, bukan seseuatu yang mudah dan instan. Untuk itu diperlukan pendidikan kewarganegaraan.
2. Landasan Teoritis
Pendidikan kewarganegaraan dimaksudkan untuk membentuk peserta didik menjadi manusia yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air.
3. Landasan Historis
Melihat pengalaman bangsa Indonesia dalam mempertahankan keutuhan dan kemerdekaan NKRI maka perlu adanya pendidikan karakter bangsa, moralitas bangsa dalam kehidupan demokrasi yang seimbang dalam tanggung jawabnya dalam pembelaan Negara demi terjaga dan terwujudnya integrasi bangsa.
4. Landasan Sosiologis
Keanekaragaman yang ada pada bangsa Indonesia harus diarahkan dan dibina dalam meningkatkan kesadaran bersama dalam kehidupan kesatuan bangsa Indonesia.
5. Landasan Yuridis
Pasal 27 Ayat(3) amandemen menyebutkan : setiap warga Negara berhak dan wajib turut serta dalam upaya pembelaan Negara.
Pasal 30 Ayat(1) : Tiap-tipa warga Negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pertahanan keamanan Negara.
Pendidikan kewarganegaraan dengan tujuan membentuk peserta didik menjadi manusia yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air.
A. Latar Belakang Civic Education
Pendidikan kewarganegaraan dalam pengertian sebagai citizenship education, secara substantif dan pedagogis didesain untuk mengembangkan warganegara yang cerdas dan baik untuk seluruh jalur dan jenjang pendidikan. Sampai saat ini bidang itu sudah menjadi bagian inheren dari instrumentasi serta praksis pendidikan nasional Indonesia dalam lima status.
- Pertama, sebagai mata pelajaran di sekolah.
- Kedua, sebagai mata kuliah di perguruan tinggi.
- Ketiga, sebagai salah satu cabang pendidikan disiplin ilmu pengetahuan sosial dalam kerangka program pendidikan guru.
- Keempat, sebagai program pendidikan politik yang dikemas dalam bentuk Penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Penataran P4) atau sejenisnya yang pernah dikelola oleh Pemerintah sebagai suatun crash program.
- Kelima, sebagai kerangka konseptual dalam bentuk pemikiran individual dan kelompok pakar terkait, yang dikembangkan sebagai landasan dan kerangka berpikir mengenai pendidikan kewarganegaraan dalam status pertama, kedua, ketiga, dan keempat.
Dalam status pertama, yakni sebagai mata pelajaran di sekolah, pendidikan kewarganegaraan telah mengalami perkembangan yang fluktuatif, baik dalam kemasan maupun substansinya. Pengalaman tersebut di atas menunjukkan bahwa sampai dengan tahun 1975, di Indonesia kelihatannya terdapat kerancuan dan ketidakajekan dalam konseptualisasi civics, pendidikan kewargaan negara, dan pendidikan IPS.
Hal itu tampak dalam penggunaan ketiga istilah itu secara bertukar-pakai. Selanjutnya, dalam Kurikulum tahun 1975 untuk semua jenjang persekolahan yang diberlakukan secara bertahap mulai tahun 1976 dan kemudian disempurnakan pada tahun 1984, sebagai pengganti mata pelajaran Pendidikan Kewargaan Negara mulai diperkenalkan mata pelajaran Pendidikan Moral Pancasila (PMP) yang berisikan materi dan pengalaman belajar mengenai Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) atau “Eka Prasetia Pancakarsa”.
Perubahan itu dilakukan untuk mewadahi missi pendidikan yang diamanatkan oleh Ketetapan MPR No. II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila atau P4 (Depdikbud:1975a, 1975b, 1975c). Mata pelajaran PMP ini bersifat wajib mulai dari kelas I SD s/d kelas III SMA/Sekolah Kejuruan dan keberadaannya terus dipertahankan dalam Kurikulum tahun 1984, yang pada dasarnya merupakan penyempurnaan Kurikulum tahun 1975. Di dalam Undang-Undang No 2/1989 tentang Pokok-Pokok Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN), yang antara lain Pasal 39, menggariskan adanya Pendidikan Pancasila dan Pendidikan Kewarganegaraan sebagai bahan kajian wajib kurikulum semua jalur, jenis, dan jenjang pendidikan.
Sebagai implikasinya, dalam Kurikulum persekolahan tahun 1994 diperkenalkan mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) yang berisikan materi dan pengalaman belajar yang diorganisasikan secara spiral/artikulatif atas dasar butir-butir nilai yang secara konseptual terkandung dalam Pancasila. Bila dianalisis dengan cermat, ternyata baik istilah yang dipakai, isi yang dipilih dan diorganisasikan, dan strategi pembelajaran yang digunakan untuk mata pelajaran Civics atau PKN atau PMP atau PPKn yang berkembang secara fluktuatif hampir empat dasawarsa (1962-1998) itu, menunjukkan indikator telah terjadinya ketidakajekan dalam kerangka berpikir, yang sekaligus mencerminkan telah terjadinya krisis konseptual, yang berdampak pada terjadinya krisis operasional kurikuler.
Krisis atau dislocation menurut pengertian Kuhn (1970) yang bersifat konseptual tersebut tercermin dalam ketidakajekan konsep seperti: civics tahun 1962 yang tampil dalam bentuk indoktrinasi politik; civics tahun 1968 sebagai unsur dari pendidikan kewargaan negara yang bernuansa pendidikan ilmu pengetahuan sosial; PKN tahun 1969 yang tampil dalam bentuk pengajaran konstitusi dan ketetapan MPRS; PKN tahun 1973 yang diidentikkan dengan pengajaran IPS; PMP tahun 1975 dan 1984 yang tampil menggantikan PKN dengan isi pembahasan P4; dan PPKn 1994 sebagai penggabungan bahan kajian Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan yang tampil dalam bentuk pengajaran konsep nilai yang disaripatikan dari Pancasila dan P4.
Krisis operasional tercermin dalam terjadinya perubahan isi dan format buku pelajaran, penataran guru yang tidak artikulatif, dan fenomena kelas yang belum banyak bergeser dari penekanan pada proses kognitif memorisasi fakta dan konsep. Tampaknya semua itu terjadi karena memang sekolah masih tetap diperlakukan sebagai socio-political institution, dan masih belum efektifnya pelaksanaan metode pembelajaran serta secara konseptual, karena belum adanya suatu paradigma pendidikan kewarganegaraan yang secara ajek diterima dan dipakai secara nasional sebagai rujukan konseptual dan operasional.
Kini pada era reformasi pasca jatuhnya sistem politik Orde Baru yang diikuti dengan tumbuhnya komitmen baru kearah perwujudan cita-cita dan nilai demokrasi konstitusional yang lebih murni, keberadaan dan jati diri mata pelajaran PPKn kembali dipertanyakan secara kritis. Dalam status kedua, yakni sebagai mata kuliah umum (MKU) pendidikan kewarganegaraan diwadahi oleh mata kuliah Pancasila dan Kewiraan.
Mata kuliah Pancasila bertujuan untuk mengembangkan wawasan mahasiswa mengenai Pancasila sebagai dasar negara dan pandangan hidup bangsa Indonesia, sedangkan kewiraan, yang mulai tahun 2000 namanya berubah menjadi Pendidikan Kewarganegaran, bertujuan untuk mengembangkan wawasan mahasiswa tentang makna pendidikan bela negara sebagai salah satu kewajiban warganegara sesuai dengan Pasal 30 UUD 1945.
Kedua mata kuliah ini merupakan mata kuliah yang wajib diikuti oleh seluruh mahasiswa, yang mulai tahun 2000 disebut sebagai Mata Kuliah Pembinaan Kepribadian atau MKPK. Dalam status ketiga, yakni sebagai pendidikan disiplin ilmu (Somantri:1998), pendidikan kewarganegaraan merupakan program pendidikan disiplin ilmu sosial sebagai program pendidikan guru mata pelajaran pendidikan kewarganegaraan di LPTK (IKIP/ STKIP/ FKIP) Jurusan atau Program Studi Civics dan Hukum pada tahun 1960-an, atau Pendidikan Moral Pancasila dan Kewarganegaraan (PMPKn) pada saat ini.
Bila dikaji dengan cermat, rumpun mata kuliah pendidikan kewarganegaraan dalam program pendidikan guru tersebut pada dasarnya merupakan program pendidikan disiplin ilmu pengetahuan sosial bidang pendidikan kewarganegaraan. Secara konseptual pendidikan disiplin ilmu ini memusatkan perhatian pada program pendidikan disiplin ilmu politik, sebagai substansi induknya. Secara kurikuler program pendidikan ini berorientasi kepada pengadaan dan peningkatan kemampuan profesional guru pendidikan kewarganegaraan. Dampaknya, secara akademis dalam lembaga pendidikan tinggi keguruan itu pusat perhatian riset dan pengembangan cenderung lebih terpusat pada profesionalisme guru.
Sementara itu riset dan pengembangan epistemologi pendidikan kewarganegaraan sebagai suatu sistem pengetahuan, belum banyak mendapatkan perhatian. Dalam status keempat, yakni sebagai crash program pendidikan politik bagi seluruh lapisan masyarakat, Penataran P-4 mulai dari Pola 25 jam sampai dengan Pola 100 jam untuk para Manggala yang telah berjalan hampir 20 tahun dengan Badan Pembina Pelaksanaan Pendidikan P-4 atau BP7 Pusat dan Propinsi sebagai pengelolanya, dapat dianggap sebagai suatu bentuk pendidikan kewarganegaraan yang bersifat non-formal.
Seiring dengan semakin kuatnya tuntutan demokratisasi melalui gerakan reformasi baru-baru ini, dan juga dilandasi oleh berbagai kenyataan sudah begitu maraknya korupsi, kolusi, dan nepotisme selama masa Orde Baru, tidak dapat dielakkan tudingan pun sampai pada Penataran P-4 yang dianggap tidak banyak membawa dampak positif, baik terhadap tingkat kematangan berdemokrasi dari warganegara, maupun terhadap pertumbuhan kehidupan demokrasi di Indonesia.
Sebagai implikasinya, sejalan dengan jiwa dan semangat Ketetapan MPR Nomor XVIII/MPR/1998 tentang Pencabutan Ketetapan MPR Nomor II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Ekaprasetya Pancakarsa) dan Penetapan tentang Penegasan Pancasila sebagai Dasar Negara, kini semua bentuk penataran P-4 telah dibekukan, dan pada tanggal 30 April 1999 BP7 secara resmi dilikuidasi.
Kini tumbuh kebutuhan baru untuk mencari bentuk pendidikan politik dalam bentuk pendidikan kewarganegaraan yang lebih cocok untuk latar pendidikan non formal, yang diharapkan benar-benar dapat meningkatkan kedewasaan seluruh warganegara yang mampu berpikir, bersikap, dan bertindak sesuai dengan cita-cita, nilai dan prinsip demokrasi, yang pada gilirannya dapat meningkatkan kualitas kehidupan demokrasi di Indonesia. Dalam kondisi seperti itu, kebutuhan adanya sistem pendidikan demokrasi untuk seluruh lapisan masyarakat, terasa menjadi sangat mendesak.
Dalam status kelima, yakni sebagai suatu kerangka konseptual sistemik pendidikan kewarganegaraan terkesan masih belum solid karena memang riset dan pengembangan epistemologi pendidikan kewarganegaraan belum berjalan secara institusional, sistematis dan sistemik. Paradigma pendidikan kewarganegaraan yang kini ada kelihatannya masih belum sinergistik.
Kerangka acuan teoritik yang menjadi titik tolak untuk merancang dan melaksanakan pendidikan kewarganegaraan dalam masing-masing statusnya sebagai mata pelajaran dalam kurikulum sekolah, atau sebagai program pendidikan disiplin ilmu dan program guru, atau sebagai pendidikan politik untuk masyarakat mengesankan satu sama lain tidak saling mendukung secara komprehensif. Sebagai akibatnya, program pendidikan kewarganegaraan di sekolah, di lembaga pendidikan guru, dan di masyarakat terkesan belum sepenuhnya saling mendukung secara sistemik dan sinergistik.
1. Warganegara dan Kewarganegaraan
- Pengertian Warganegaraan
- Pengertian Kewaganegaraan
- Undang-Undang Kewarganegaraan RI
2. Pemahaman Tentang Pendidikan Kewaganegaraan
- Pentingnya Pendidikan Kewaganegaraan
- Pendidikan Kewaganegaraan Sebagai Pendidikan Politik
- Aspek Hukum Dalam Pendidikan Kewaganegaraan
- Dimensi Moral Dalam Pendidikan Kewaganegaraan
3. Pembelajaran Pendidikan Kewaganegaraan
- Pengertian Pembelajaran
- Tujuan Pembelajaran Pendidikan Kewaganegaraan
- Ruang Lingkup Materi Pembelajaran Pendidikan Kewaganegaraan
- Strategi Pembelajaran Pendidikan Kewaganegaraan
- Evaluasi Pembelajaran Pendidikan Kewaganegaraan
4. Sejarah Perkembangan Pendidikan Kewaganegaraan di Indonesia
- Pendidikan Kewarganegaraan Pada Masa Orde Lama
- Pendidikan Kewarganegaraan Pada Masa Orde Baru
- Pendidikan Kewarganegaraan Pada Era Reformasi
Catatan: Kurikulum 2013 merubah nomenklatur Pendidikan Kewarganegaran (PKn) menjadi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaran (PPKn). LPTK tampaknya harus menyesuaikan diri dengan perubahan itu. Untuk itu perlu kajian tentang:
1. Kedudukan Pancasila
- Pancasila Sebagai Dasar Negara
- Pancasila Sebagai Pandangan Hidup Bangsa
- Pancasila Sebagai Perjanjian Luhur Bangsa
- Pancasila Sebagai Ideologi Nasional
- Proses Perumusan Pancasila
- Pancasila Sebagai Kristalisasi Nilai-Nilai Sosio Kultural Bangsa Indonesia
2. Perumusan Pancasila Sebagai Dasar Negara
- Pengamalan Pancasila
- Pengamalan Pancasila Secara Objektif
- Pengamalan Pancasila Secara Subjektif-
Daftar Pustaka
Ajimmy. (n.d.). PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN SEBAGAI WAHANA SISTEMIK PENDIDIKAN DEMOKRASI. Retrieved Maret 23, 2017, from https://ajimmydj81.wordpress.com/2011/11/26/pendidikan-kewarganegaraan-sebagai-wahana-sistemik-pendidikan-demokrasi/
Andhika. (2014, September 30). KERANGKA KONSEP DASAR PPKn. Retrieved Maret 23, 2017, from Kumpulan Tugas Kuliah: https://andhikafrancisco.wordpress.com/2014/09/30/kerangka-konsep-dasar-ppkn/
Noenoe. (2011, Januari 5). Landasan Pendidikan Kewarganegaraan . Retrieved Maret 23, 2017, from Noenoe & Acie: http://noenoeaciel.blogspot.co.id/2011/01/landasan-pendidikan-kewarganegaraan.html
Komentar
Posting Komentar